Pantone 19-1617 TCX

132 13 0
                                    

[Rana]

Kemeja burgundy yang Mahesa kenakan hari ini, sangat sempurna. Burgundy selalu jadi warna kesukaanku. Jika dipersonifikasi, burgundy seolah memiliki sifat berani, bersamaan dengan ketenangan dan rendah hati. Mudah bercengkrama dengan warna lainnya pula.

Tidak jauh beda dengan Mahesa yang nyaris...tidak ada cela. Bukan sekali dua kali aku berpikir, bagaimana bisa aku kini menyandang nama sebagai kekasihnya. Rendah diri rasanya bukan sesuatu yang bisa dihindari. Jika kamu yang merasa tidak punya apa-apa, bersanding dengan seseorang yang parasnya serupa dewa, minder dan rasa berkecil hati pasti ada.

"Kamu cantik kalau dikuncir setengah begitu," puji Mahesa padaku. Dengan santainya ia suap lagi makanan dari kotak bekal yang ku bawakan. Seakan perkataannya barusan tidak buat jantungku turun ke jalan.

Aku putuskan untuk lakukan serangan balik.

"Jadi kalau kuncir kuda gak cantik?"

Mahesa tertawa kecil. "Sok galak nih, padahal pipinya merah," katanya. "Rambut kayak gimana pun, kamu selalu cantik "

"Walaupun botak?"

"Walaupun botak."

Debaran di dadaku akibat ulah Mahesa terasa sangat heboh. Tapi di saat yang bersamaan, setiap detaknya terasa membahagiakan. Berikan suntikan semangat sampai ke ujung kaki. Jatuh cinta yang begini, yang aku selalu inginkan.

Pipi kiriku diberikan satu cubitan pelan oleh Mahesa, saat aku beri senyuman padanya.

"Masakannya enak banget. Udah cocok jadi koki di Turki," ucap Mahesa, sambil bantu aku membereskan tempat makan kami.

"Kenapa Turki?"

"Temen Mama koki di Turki."

Aku tertawa. Mahesa memang luar biasa di puluhan aspek, tapi ada baut lepas juga di kepalanya. Memang begitu. Tuhan selalu adil.

"Gak nyambung, ah," protesku. Masih dengan sisa-sisa tawa di ujungnya.

"Gak apa-apa. Yang penting kamu ketawa."

"Iya, iya," jawabku, biar cepat. Mana bisa aku menang lawan kata-kata manisnya Mahesa? "Tadi, aku ketemu Tiana. Dia mau nyobain masakan aku katanya," lanjutku bercerita.

"Oh, iya? Gak usah, nanti porsi aku malah berkurang."

"Gak apa-apa, biar gak gendut."

Ekspresi tidak terima yang Mahesa tunjukkan terlalu lucu untuk tidak ditertawakan. Aku yakin beberapa karyawan rumah sakit yang berlalu lalang di sekitar kafetaria ada yang melihat ke arah kami penuh tanya. Biar saja, selama Mahesa tidak terganggu, aku tidak punya alasan untuk peduli.

"Mama semalam udah landing."

Tawaku mereda. Keluarga Mahesa selama ini tinggal di Sydney. Beberapa hari yang lalu, Mahesa bercerita tentang kepulangan sang ibunda ke tanah air. Ini pertama kalinya, sejak kami menjalin hubungan, Mamanya hadir di Indonesia.

"Wah, akhirnya kamu ketemu Mama kamu. Sekarang ada dimana?"

"Sama aku di apart. Mama ngeluh, sih. Katanya sempit. Tapi kan, aku selama ini tinggal sendiri. Kalau gede-gede malah ngeri."

Mahesa lahir dari keluarga yang punya segalanya. Tidak kaya raya yang berlebihan, tapi di atas rata-rata. Kedua orang tuanya sukses di usahanya masing-masing, namun tidak lupa untuk beri Mahesa dukungan di setiap langkah yang ia ambil. Juga limpahan kasih sayang.

Telihat kan seekstrim apa perbedaan hidup yang kami jalani?

"Titip salam buat Tante. Selamat makan masakan Indonesia. Kangen kan pasti sama bumbu-bumbu asli pasar di sini." balasku, berusaha tutupi gugup.

Mahesa mengangguk mantap. "Iya. Mama ngerengek pengen nyobain masakan kamu setiap aku cerita tentang bekal yang kamu buat."

"Tante pengen nyobain masakan aku?" Bola mataku hampir keluar dari kantungnya.

"Bukan mau nyobain aja, tapi mau makan full course. Udah ngancem mau minta dibuatin kotak makan juga. Tunggu aja nanti kalau ada chat dari Mama."

"Ya ampun. Takut," ucapku dengan suara kecil.

Mama Mahesa bukan tipikal wanita sombong dan kejam seperti yang biasa kita lihat di layar kaca. Selama ini, beberapa kali, aku sudah pernah bertukar pesan dengannya. Ramah dan tidak mengintimidasi. Tapi, tetap saja, rasa gugup tidak bisa dihindari.

"Takut kenapa? She loves you."

"Tetap aja deg-degan, tau. Kamu sih, gak pernahㅡ"

ngerasain chat sama Ibu aku.

Perkataanku terputus di tengah-tengah, saat sadar kalau lanjutan kalimatnya terlalu sakit untuk dilafalkan dengan gamblang.

Ya tentu saja Mahesa tidak pernah berkomunikasi dengan Ibu. Aku saja anaknya tidak tahu ada di mana Ibu saat ini.

Komunikasi dengan Bapak? Apa lagi. Tidak akan aku biarkan bapak dapat nomor ponsel Mahesa. Entah apa yang akan beliau katakan pada Mahesa jika itu sampai terjadi.

Mahesa sepertinya paham walaupun kalimatku tidak selesai. Ia beri genggam di tangan kananku yang mengepal di atas meja.

"Muter-muter, yuk. Masih ada dua puluh menit waktu break aku. Sekalian nurunin makanan."

Sekali lagi, Mahesa dan segala pengertiannya berhasil membuat segala rasa tidak nyaman pergi lari tunggang langgang.

Walaupun masih merasa kerdil hati di dekatnya, aku selalu bersyukur karena kami bisa bersama. Semoga Mahesa selalu bahagia selamanya.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang