Gemerlap Janji

88 8 0
                                    

[Mahesa]

Diamnya Rana selama beberapa menit setelah aku melontarkan apa yang selama ini bergelayutan di kepalaku, membuat senyum Rana tidak sampai mata di waktu yang kami habiskan bersama.

Tentu saja, Rana tetaplah Ranaku yang cerita. Ia masih membalas genggaman tanganku dengan sama hangatnya, menjawab semua perkataanku dengan suara lembutnya, tidak menjauh saat aku merangkul bahunya.

Tapi aku tahu, suasana hatinya tidak lagi nyaman sepenuhnya. Dan itu bawa kesal ke dalam hatiku.

"Besok agendanya apa?"

Rana menoleh dari jendela. Atensinya sedari tadi ia fokuskan pada kelap-kelip lampu jalan di trotoar. Gemerlapnya terpantul di kedua bola mata Rana. Buat dua kelereng legam tersebut bercahaya seperti galaksi andromeda.

Cantik. Selalu.

"Di rumah aja kayaknya. Aku mau revisi-an. Kamu?"

"Praktik, biasa." Aku rapikan beberapa anak rambutnya yang nakal dan tidak mau diam di belakang telinga. "Besok aku telfon, mau? Nemenin kamu, siapa tau kamu pengen ngerjain revisi sambil ngobrol."

Rana tersenyum kecil.

"Boleh," jawabnya. "Kalau gak ada Bapak, ya," lanjutnya dengan suara kecil, tanpa memandang mataku.

Aku balas senyumnya, sambil mengejar pandangan mata Rana. Memaksanya untuk melihat ke wajahku yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi kesal ataupun kecewa akan jawabannya.

"Tentu. Kamu tinggal bilang. Okey?"

Setelah satu kali mengangguk, Rana menempelkan ibu jarinya di hidungku. "Okey."

Her playful self is back.

Jemari Rana bergerak menggenggam tanganku. Menepuk-nepuk punggung tanganku, dengan telapak tangannya yang lebih kecil. Kami sekarang diselimuti keheningan yang nyaman.

Sudah sejak tadi mobilku berhenti beberapa meter dari rumah Rana. Tapi, tanpa kata, kami berdua seakan sepakat dan saling paham bahwa belum ada yang ingin kebersamaan ini disudahi. Rana tetap duduk di kursinya, menggenggam tanganku. Aku tetap duduk di kursi kemudi, menikmati hangatnya tangan yang kukasihi.

"Mario ada di rumah?" tanyaku.

Rana menggeleng. "Lagi ada acara nginep di sekolahnya. Besok siang pulang, kalau gak salah."

"Hmm," aku menggumam. "Berarti kamu sendirian, di rumah? Cuma sama Bapak?"

Rana tertawa kecil. "Itu namanya berdua. Gimana sih, Pak Dokter kok gak bisa ngitung."

Aku tertawa, mencoba mengimbangi Rana yang bercanda, walaupun hatiku khawatir luar biasa.

Kehilangan Rana atau melihatnya terluka adalah ketakutanku yang paling buruk. Tolong jangan pernah suruh aku membayangkannya.

"Iya, maksudnya gitu, sayang."

Rana memamerkan deretan giginya yang rapi.

"Gak apa-apa, kok. Aku gak bakal kenapa-kenapa, aku janji."

Aku hembuskan nafas dan mengangguk. "Aku percaya. Kamu perempuan kuat, hebat."

Senyum bangga muncul di wajah Rana. Aku mengubah posisi dudukku di kursi kemudi, menjadi hadap samping. Lurus ke arah Rana.

"Tapi, perempuan hebatku, perempuan kuatku, kalau kamu mau ditemani hebatnya, mau kuat sama-sama, jangan lupa kalau ada aku, ya? Aku serius, Rana. Telfon aku, kapan aja. Anytime. Aku akan swipe up tombol hijau dalam satu kedipan mata."

Genggaman tangan Rana di tanganku mengerat.

"Iya. Kamu juga, gak boleh kenapa-kenapa. Gak boleh ada yang jahatin Mahesa-nya aku. Aku perang-in nanti kalau ada yang ganggu kamu."

Dari sini, walaupun sepertinya masih banyak benteng yang harus dirubuhkan, masih banyak batu yang harus dilompati, kuharap jalanku dan Rana selalu menuju ke satu titik yang sama. Dengan akhir yang sama; bahagia.

~

a.n

terima kasih banyak untuk 300+ viewsnya huhuhu ga nyangka bisa nembus kepala tiga krn aku ga promosiin cerita ini sama sekali:") bertahan sampai akhir cerita ya! kalian sangat berarti buat aku<3

maaf karna aku tinggal bbrp minggu. real life sedang gila2nya aku ga sempet mampir nengokin rana dan mahesa :( semoga di pekan ini kita bisa ketemu lagi!

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now