Tanpa Warna

109 11 0
                                    

[Rana]

Belum sempat aku ucapkan salam dan panggil nama adikku yang aku rindukan, saat suara laci dapur yang ditutup secara paksa terdengar. Beruntung, pintu rumah sudah aku tutup. Semoga tidak ada orang di luar yang mendengar suara bantingan barusan.

Setiap kebahagiaan selalu diikuti dengan nasib buruk. Sepertinya memang begitu jalan yang dituliskan untukku. Satu momen bahagia akan dibayar kontan dengan air mata yang setara setelahnya.

"Ngapain kamu cakep-cakep begitu? Abis pacaran? Kuliah mahal-mahal bukannya belajar, malah ganjen gak jelas. Adik kamu tuh, rajin sampe kerja kelompok ke rumah temannya. Kakaknya malah keganjenan godain cowok."

Ah, jadi Mario belum pulang.

Aku tahan semua kata pembelaan yang ingin kuucapkan di ujung lidah.

Tidak, kuliahku tidak sia-sia. Aku sedang berusaha untuk menyelesaikannya. Aku tidak lalai.

Tidak. Aku bukannya tebar pesona sana-sini. Aku hanya makan siang dengan orang yang menyayangiku.

Tidak. Aku bukan perempuan yang seperti itu.

Tidak. Aku tidak lebih malas dibandingkan Mario. Tapi memang tidak ada tugas lain selain skripsi yang memang sedang aku kerjakan.

Apa Bapak tahu itu? Tidak

Ingin rasanya aku balas semua perkataan Bapak. Tapi, lelucon macam apa itu? Mana mungkin Bapak peduli dengan apa yang aku katakan?

"Benar, kan? Abis pacaran kan kamu?" Cecar Bapak.

Setenang mungkin, aku lepas sepatuku dan memasukkannya kembali ke dalam rak. Di dapur, Bapak berdiri dengan spatula besi di tangannya, yang biasa aku gunakan untuk menggoreng. Wajan ada di atas kompor, entah apa isinya. Tapi terlihat mengebul, panas.

Sepertinya Bapak sedang menggoreng sesuatu untuk makan siangnya.

Alasan mengapa ia marah; aku tidak masak makan siang.

"Kenapa gak bisa jawab? Ketelen lidahnya? Dikasih mulut tuh buat ngomong bukan pajangan!"

"Maaf aku gak masak dulu buat Bapak sebelum pergi," jawabku dengan cepat.

Aku putuskan untuk minta maaf daripada menjawab pertanyaan Bapak. Lelah, sungguh. Aku hanya ingin habiskan satu hari tanpa mebenci hidupku sendiri. Kenapa rasanya seperti mimpi? Tidak akan bisa tergapai. Mustahil.

"TUH TAU! Kamu tuh perempuan, harus ngurus rumah. Urus keluarga! Jangan kayak Ibu kamu yang kabur! Dasar perempuan nyusahin aja."

Mataku kupejamkan erat-erat. Tidak sudi aku keluarkan air mata di depan Bapak.

Kakiku rasanya tertanam di lantai ruang keluarga. Aku ingin lari, tapi tidak bisa. Ingin ditenggelamkan saja oleh bumi, tapi tidak terjadi juga.

Kalau bisa, aku ingin hilang.

Beberapa detik berselang, saat Bapak tidak berkata apa-apa lagi, aku buka mataku. Aku hela nafas pendek saat kulihat perhatian Bapak sudah beralih ke wajan di atas kompor. Bapak sedang membalik isi wajan dengan spatula besi di tangannya.

Aku harus gunakan kesempatan ini untuk pergi.

"Aku ke kamar dulu," ucapku.

Namun, semesta memang sepertinya membenciku dan tidak ingin melihatku merasa lega terlalu lama.

Sebelum aku sempat belok ke arah pintu kamar Mahesa, Bapak melempar spatula besinya yang baru saja membalik isi wajan. Panas dan sisa minyak di sana tepat mengenai lengan atasku. Aku berhenti di tempat, meringis, memegangi sekitar lenganku yang terasa panas dan pedih luar biasa. Melepuh.

"Ngapain? Siapa izinin kamu pergi? Kamu pikir Bapak udah selesai ngomong? Emang dasar anak perempuan dari wanita yang kurang ajar, pasti kurang ajar juga!"

Rasa perih yang ada di lenganku sudah buyarkan semua kekuatan yang aku punya untuk tahan air mata. Aku menangis sambil berjalan cepat menuju pintu rumah. Rasanya mual. Aku benci ini.

"KABUR AJA SANA KAYAK IBU KAMU YANG GAK GUNA! SEMUA PEREMPUAN SAMA AJA!" adalah kata-kata terakhir dari Bapak yang sempat kudengar, sebelum aku banting pintu rumah sampai rapat.

Aku berjalan cepat, secepat kedua kakiku yang kini hanya beralaskan sandal jepit mampu membawaku. Setiap tetesan air mata aku hapus secepat yang aku bisa. Tidak ada waktu untuk menjawab pertanyaan penasaran dari tetangga yang tidak tahu apa-apa.

Kalian tahu warna apa yang aku lihat saat ini? Tidak ada.

Kosong.

Hampa.

Buram.

Aku benci hidupku.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now