Pantone 3935C

109 9 0
                                    

[Rana]

"Nanti kita ketemu lagi sesuai jadwal untuk ganti perban, sama kontrol luka nya, ya. Selain itu, kayaknya you're good to go. You'll get better soon, gak perlu rawat inap."

Sambil mendengarkan penjelasan Kak Farhan, tanganku tak henti digenggam oleh Mahesa.

Sejak aku sadarkan diri tengah malam tadi, sampai aku terbangun kembali di pagi hari, dan siang ini aku diperbolehkan pulang setelah selesai pemeriksaan menyeluruh, Mahesa tetap ada di sampingku.

Seringnya, aku merasa tidak pantas mendapatkan perhatian dan waktunya yang berharga sebanyak ini.

Tapi sisi manusiaku berontak. Aku ingin merasakan nyaman dan sayang sebanyak yang Mahesa tawarkan. Kalau bukan darinya, entah dari siapa lagi aku bisa merasakan seperti ini.

Miris sekali hidupmu, Rana.

"Kakak udah sembuh?"

Aku tersenyum, mengusap rambut adikku yang duduk di atas ranjang, di sampingku.

Kalimat yang sama yang selalu ia tanyakan pada Kak Farhan ataupun Mahesa, sejak ia membuka mata pagi tadi.

Bukan tentang bagaimana ia berangkat ke sekolah hari ini, bukan tentang dimana cat warna barunya yang kemarin ia beli, bukan tentang episode terbaru kartun pagi favoritnya yang seharusnya ia tonton hari ini.

Langit dan seisinya akan kubawakan untuk adikku ini, jika aku bisa.

"Kakak bakal cepet sembuh, tenang aja. Asal kamu gak nakal, okay?"

Mario mengangguk, dan menyambut jari kelingking Kak Farhan yang menawarkan pinky promise di depannya.

"Aku gak pernah nakal," katanya. "Iya kan, Kak?" Ia beralih padaku, meminta konfirmasi.

Dahi Mario aku beri kecupan. "Gak pernah. Mario kan jagoan."

Senyuman lebar muncul di wajahnya yang masih sembab. "Kak Mahesa juga bilang aku jagoan. Kalau gini, aku pengen jadi jagoan yang betulan biar bisa jagain Kakak."

Aku mendongak, menatap Mahesa. Ia balas tatapanku dengan senyuman, sebelum beralih menepuk-nepuk kepala Mario.

"Betul, kan? Mario emang jagoan. Jadi, tetep harus pinter kayak sekarang, ya?"

"Okay!" jawab Mario riang.

Aku menghela nafas lega. Walaupun mimpi buruk yang terjadi semalam masih terlalu menganga lukanya, tapi memiliki adikku di pelukan rasanya sudah cukup untuk mengobati rasa sakitnya.

"Ada yang mau ditanya lagi, Rana? Atau lo, Sa?"

"Gak ada. Makasih banyak ya, Han. Kapan-kapan gue traktir makan," kata Mahesa.

Kak Farhan tertawa. "Santai," katanya. Ia tepuk bahu Mahesa beberapa kali.

"Rana? Masih ada yang pengen ditanya?"

Aku menggeleng. "Makasih banyak ya, Kak."

"Gak usah pakai Kak juga gak apa-apa," jawabnya. Aku hanya bisa tersenyum canggung untuk membalas. "Obatnya jangan lupa diminum sesuai resep, ya."

Aku menjawab dengan anggukan.

Setelah bertukar kata dengan Mahesa, Kak Farhan pamit meninggalkan kami bertiga.

Mahesa membantuku untuk memakai jaket miliknya. Badanku rasanya agak meriang, tapi katanya, ini normal. Aku hanya butuh istirahat dan minum obat yang sudah diresepkan.

"Bener kamu mau pulang ke rumah? Kalau ada Bapak gimana?" tanya Mahesa. Nada bicaranya sarat akan kekhawatiran.

"Iya. Semua barang-barang aku kan di rumah. Laptop aku yang isinya skripsi juga ada di rumah. Masa aku gak pulang?" jawabku dengan nada bercanda. Aku bubuhkan senyum disana, berharap rasa khawatir Mahesa bisa berkurang sedikit.

"Tapi orang yang bikin kamu terluka sampai kayak gini masih ada di sana. Mau aku cariin kosan aja? Kamu ngekos aja, ya?"

"Ngekos itu apa?" Mario menyelak.

Aku tertawa. "Ngekos itu, tinggal di rumah orang lain, sayang."

"Biar gak ketemu Bapak lagi, ya?" tanya Mario lagi. "Kak Mahesa, gimana caranya biar aku sama Kak Rana bisa ngekos? Aku mau ngekos, biar Kak Rana gak dipukulin Bapak lagi!"

"Rana dipukulin?"

Jantungku rasanya jatuh merosot sampai ke perut bumi saat suara Tante Elisa terdengar tiba-tiba.

Dengan kotak bekal di tangannya, Tante Elisa tanpa tanda-tanda, muncul dari balik tirai pemisah ranjang rumah sakit. Blouse cantik berwarna kuning membalut tubuhnya. Warna yang seharusnya menjadi simbol bahagia, justru membawa ketakutan bagiku saat ini.

Entah apa yang membawa Tante Elisa kesini.

Yang pasti, sekarang aku rasakan panik luar biasa.

Tidak seharusnya Tante Elisa mendengar dan mengetahui apa yang baru saja Mario katakan.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora