Pantone 3255 U

75 6 0
                                    

[Mahesa]

"Sa."

Aku menoleh, dapati Mama dan Tiana yang berjalan dari lorong di sebelah kiri. Suasana rumah sakit kini cukup lengang dan sepi. Waktu sudah tidak lagi siang, tidak lagi banyak orang yang berlalu-lalang.

"Ini baju sama makan malam untuk kamu," ucap Mama, kemudian duduk di sebelahku.

"Makasih, Ma."

"How's her condition?" kali ini, Tiana yang bertanya.

Ia memang menawarkan diri untuk mengantar jemput Mama setiap Mama ingin berkunjung kesini. Tak mau ambil resiko membiarkanku menyetir pulang pergi setiap hari dengan kondisi pikiran yang berantakan, katanya.

"Udah jauh lebih baik. Kalau dalam beberapa hari ke depan stabil terus, boleh pulang."

"Dia di dalam sendiri?" tanya Mama. Melirik Mario yang tidur bersandar di bahu kananku.

"No," jawabku. "Ada Ibunya."

Ponsel Tiana bergetar dan ia pamit untuk menjawab panggilan. Mama memutar posisi duduknya, menghadapku sepenuhnya.

"Sa, Mama mau minta maafㅡ"

"Ma, jangan lagi."

"Enggak," Mama memotongku dengan cepat. "Let me," ucap Mama.

Mama menghela nafas dalam. Tangannya bergerak memegang tangaku, yang kubalas sehangat yang kubisa.

"Mama betul-betul minta maaf. Secara gak langsung, Mama bikin Rana menjauh dari kamu. Bukannya bantu kamu untuk lindungin Rana, Mama malah nyalahin dia dan bikin kalian saling jauh. I'm really sorry for that."

"Ma, gak apa-apa. Bukan salah Mama. Aku sama Rana juga sama-sama kalut waktu itu, sama -sama bingung, sama-sama capek. Lagi pula, aku paham dari mana datangnya rasa khawatir Mama. But i know you love her too. I understand."

"Of course. I do, i love and cherish her so much. Rasanya mau pingsan waktu kamu nelfon Mama dan ngasih tau kabar Rana."

Aku tertawa kecil. Secara sekilas teringat bagaimana paniknya suara Mama dan secepat apa Mama tiba di rumah sakit dengan sepatu yang berbeda kanan dan kiri setelah aku menelefon Mama saat Rana dilarikan ke rumah sakit beberapa hari yang lalu.

"Ibunya Rana masih di dalam?"

"Masih, Ma," jawabku.

"I hope everything goes well, between them."

Aku mengangguk.

"Semoga."

Seakan mendengar percakapanku dengan Mama, Tante Kirana keluar dari ruang rawat inap Rana. Matanya basah, tapi ada senyum kecil di wajahnya. Tante Kirana menghampiri kami, namun aku tidak bisa berdiri menyapanya, ada Mario yang masih terlelap. Di sampingku, Mama bangun dari duduknya, beri senyum ramah sebagai sapaan.

"Saya Ibunya Mahesa."

"Oh, salam kenal Bu. Saya...saya Ibunya Rana." Suara Tante Kirana mengecil di akhir perkataannya. Ada rasa kerdil disana, terdengar jelas. Mamah kehilangan senyumnya selama satu detik, tapi dengan cepat kembali tersenyum untuk tidak buat suasana semakin canggung.

Mamah bawa Tante Kirana untuk duduk di sebelah Mario.

"Sa, kamu gak mau temenin Rana di dalam?" tanya Mama.

"Gak apa-apa, Ma, nanti dulu. Mario lagi nyenyak tidurnya."

Tante Kirana tersenyum. "Mario biar sama Tante aja," ucapnya. Ia raih kepala Mario dan diletakkannya dengan nyaman di bahunya. Mario bergerak sebentar, menyamankan posisinya sebelum kembali nyenyak di alam mimpi.

"Tante gak mau ikut lagi ke dalam?"

Masih dengan senyum ramahnya, Tante Kirana menggeleng. "Udah cukup dulu kami bicaranya. Sekarang giliran kalian."

Aku mengangguk samar. Setelah berikan satu usapan di kepala Mario, dan pamit kepada Mama dan Tante Kirana, aku masuk ke kamar Rana.

Rana masih ada, di sana. Terbalut pakaian rumah sakit berwarna tosca, yang terlihat terlalu besar. Buat tubuhnya yang kecil semakin terlihat tenggelam disana.

Rana tersenyum. Bibir pucatnya tak kurangi cantik dari senyum favoritku nomor dua di dunia, setelah senyum Mama.

"Hai," sapaku. Aku tutup pintu dengan perlahan, dan kemudian berjalan dengan perlahan juga.

"Kangen," lirih Rana saat aku sampai untuk menggenggam tangannya yang sedari tadi sudah menunggu di udara.

"Me too. Kamu lama banget tidurnya," jawabku.

"Maaf. Kamu sih."

Aku tertawa kecil. "Aku kenapa?"

"Gak tau," rajuk Rana. Bibirnya mencebik. Pipinya basah, kuusap perlahan.

Ranaku lucu.

"Sakit banget, ya?"

Rana mengangguk. "Dia dimana, sekarang?" tanyanya dengan suara kecil.

"Ditahan, sampai proses hukum selanjutnya," jawabku. "Gimana sama Ibu?"

Rana hela nafas kecil. "Besok aja, ya? Aku ngantuk."

"Boleh," jawabku dengan senyum. "Aku temenin atau aku keluar aja?"

"Temenin."

"Okay."

"Jangan kemana-mana."

"Iya, Sayang. I'll be here when you wake up."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now