Pantone 16-6340

91 6 3
                                    

[Mahesa]

"Terus Rana lo biarin pulang sendiri, Sa?"

Suara Tiana sama heran dan bingungnya seperti suara-suara di dalam kepalaku yang sedari tadi tidak berhenti menyalahiku seperti orang dungu. Entah apa yang kupikirkan tadi sampai aku biarkan Rana begitu saja pergi ke tempat yang aku tahu, jauh dari kata aman. Mungkin aku tidak berpikir. Mungkin aku memang sedang dungu.

Mahesa tolol.

"Na, gue juga bingung. Gue...gak tau kenapa tadi gue diem aja."

Helaan nafas Tiana terdengar dari seberang sana. Aku meringis, kepalaku kembali sakit.

"Terus sekarang lo dimana?"

"Parkir di depan minimarket, dekat rumah Rana."

"Ngapain?"

"....nunggu."

"Apa yang lo tunggu?"

Kini giliran aku yang menghela nafas.

"Gak tau. Tapi hati gue nyuruh gue untuk nunggu disini. Feeling gue bawa gue nyetir sampai kesini."

"Okay, follow your heart for now. It's beating for her, it's doing something good for her."

Aku mengangguk, bukan untuk menjawab pernyataan Tiana karena aku tahu ia tidak bisa melihat anggukan ini. Tapi, sebagai gerakan untuk menenangkan ragaku yang seperti berceceran ke seribu arah berlawanan. Untuk mengembalikan pikiranku yang sedari tadi seperti mengawang-awang kemana-mana.

Setelah menutup sambungan telepon dengan Tiana, aku menyandarkan dahiku ke kemudi mobil. Memejamkan mata, berusaha untuk mengistirahatkan tubuhku yang sedari tadi dalam kondisi fight sejenak.

Entah berapa menit terlewat hingga dengan terkejut aku terbangun karena dering ponsel khusus yang aku atur untuk panggilan dari Rana. Pengelihatanku masih buram, tapi aku geser tombol hijau untuk mengangkat panggilan.

"Halo? Rana?"

Tidak ada jawaban dari seberang sana. Hanya bunyi krasak krusuk yang dapat aku dengar.

Aku menjauhkan layar ponsel dari telingaku, memastikan nama dari penelepon tadi, dan betul yang membuat panggilan adalah Rana.

"Rana? Kenapa? Kok gak ada suaranya? Halo?"

"...A-AAKKㅡ"

Jantungku seperti berhenti berdetak saat sepersekian detik aku dengan Rana berteriak dari seberang sana. Dengan jemari yang bergetar aku mengaktifkan perekam panggilan dan mode speaker.

"Rana? Kamu bisa dengar aku?"

"SAKIT?? GINI AJA SAKIT?!"

Suara setan itu terdengar.

"Iya, bagus. Mati aja. Emang kamu hidup buat apa? Gak ada gunanya."

"Lepasin!!! LEPASINNNN!!! JANGAN CEKIK KAKAK!!!!"

Secepat yang aku bisa, aku berlari masuk ke dalam minimarket. Aku meninjam ponsel penjaga kasir minimarket untuk menghubungi polisi dan ambulance terdekat agar tidak perlu memutus panggilanku dengan Rana. Seluruh tubuhku rasanya digerogoti rasa takut sampai habis ke tulang belulang seiring dengan semakin jelas dengarnya teriakan Rana dari ujung sana. Seakan mengerti apa yang terjadi, tanpa tanya penjaga kasir langsung memberikan ponselnya padaku. Semua seakan blur, seakan aku melakukan segalanya di bawah alam sadar. Aku tidak ingat apa yang aku katakan kepada pada penyedia bantuan, yang aku ingat adalah bagaimana telingaku berdering nyaring dipenuhi rasa panik, dan bagaimana dentuman kencang jantungku seakan mampu meremukkan seluruh rongga dadaku.

Tanpa menunggu para medis dan polisi datang, aku tancap gas lebih dulu menuju rumah Rana. Peduli setan dengan menghadapi iblis disana seorang diri. Aku hanya berdoa, semoga bala bantuan datang tepat waktu.

Aku berdoa, semoga aku juga datang tepat waktu.

Semoga aku tidak terlambat.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Место, где живут истории. Откройте их для себя