Pantone 294 C

73 7 0
                                    

[Rana]

Hanya Tuhan yang tahu sudah berapa banyak layangan tangan Bapak yang menyapa seluruh bagian tubuhku tanpa ampun sampai warna biru lebam muncul disana-sini. Cih. Sampai mati pun aku tidak akan sudi meminta ampun. Aku tidak akan sudi meminta apapun.

"Diem aja terus kamu sampe bisu beneran. Ngadu sana sama perempuan gak tau diri itu. Cocok kalian, sama-sama gak punya malu."

Sepertinya tenaga Bapak habis, atau mungkin keadaannya yang setengah sadar akibat pengaruh minuman yang mengalir dalam darahnya, buat kekuatan tangannya melemah. Dorongan terakhir yang Bapak berikan pada kepalaku tidak sekuat itu.

Namun, ternyata tubuhku sudah kehilangan terlalu banyak tenaga. Aku tetap terjatuh walaupun tenaga yang Bapak keluarkan tidak seberapa dibanding pukulan-pukulan sebelumnya.

"Meja yang benda mati masih lebih berguna dari pada kamu yang bernyawa."

Tahan, Rana. Tahan.

"Mati aja kamu sana."

Lalu hanya suara pintu kamar dibanting sebagai penanda bahwa Bapak sudah selesai dengan pembicaraannya.

Barulah aku berani angkat kepala.

Bayanganku di depan kaca terlihat berbeda dengan apa kulihat sepuluh menit sebelum ini.

Aku masih disana. Masih Rana yang sama, mengenakan baju hangat yang sama. Namun rupanya sudah sangat berbeda.

Dengan tenaga yang tersisa karena sudah terkuras habis untuk menahan rasa sakit, kugerakkan jemariku ke ujung bibirku yang berdarah. Mata kiri lebam, dan rambut berantakan. Rana yang kulihat saat ini, sangat menyedihkan.

Seakan segalanya belum cukup, hidungku kini ikut mengeluarkan darah. Seakan ingin menguji, kalau seperti ini akankah aku mengamuk dan marah.

Satu tarikan nafas coba kutarik sepelan mungkin. Seluruh bagian tubuhku seperti ditusuk ribuan jarum di setiap helaan udara yang masuk ke paru-paru.

Lucu. Menarik nafas saja rasanya hampir merenggut nyawa, tapi untuk urusan menangis, tiba-tiba mengalir begitu saja. Semakin kutahan, justru rasanya rongga dadaku semakin sesak. Jalur nafasku seakan ditutup rapat.

Ingin rasanya mengutuk tanganku yang gemetar saat mengusap mata. Tidak seharusnya aku menangis karena Bapak. Ia sama sekali tidak pantas untuk ditangisi barang setetes air mata.

Sekuat tenaga, kucoba untuk bangkit dan duduk di atas tempat tidurku. Aku bersihkan perlahan semua luka dengan tisu di atas meja nakas, dan kubalut dengan perban sisa seadanya. Sisa obat luar dari Kak Farhan beberapa waktu yang lalu, kubalurkan di beberapa tempat yang sepertinya akan timbul memar. Tidak ada banyak obat yang tersisa, tidak cukup untuk semua luka. Tapi aku terlalu lelah untuk peduli. Biar saja mereka sembuh sendiri.

Jam dinding di samping lemari mememberitahukan padaku kalau masih ada waktu beberapa jam sebelum aku harus siap untuk menghadapi dunia dengan kondisi yang baik-baik saja. Aku tidak mau menyerah pada keadaan dan mengaku kalah pada pukulan-pukulan Bapak. Dunia harus tahu kalau aku masih bisa baik-baik saja, kalau Bapak tidak memiliki pengaruh apa-apa untukku.

Aku harus tetap hadir di parlor untuk bekerja. Lagi pula, biaya skripsi dan lain sebagainya tidak akan lunas dengan sendirinya.

Aku merebahkan kepala. Mengistirahatkan kepala untuk sejenak mengundurkan diri dari bisingnya rasa sakit di sekujur badan.

Semoga semesta berbaik hati dan memberi keringanan agar semua nyeri yang saat ini hadir, untuk pergi di sisa hari ini.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora