Bening

68 6 0
                                    

[Rana]

Mahesa tertidur. Lucu, bibirnya maju ke depan membentuk huruf U. Gurat-gurat halus muncul di dahinya yang ditutupi anak rambut berantakan. Tanpa jas dokter dan penampilan rapinya, Mahesa terlihat sederhana. Terlihat sangat dekat. Terlihat...tanpa jarak.

Bohong jika aku bilang selama ini aku tidak merasa kerdil. Siapa yang tidak merasa dirinya kecil jika bersanding dengan seorang laki-laki yang sudah jelas memiliki masa depan, saat dirinya sendiri hanya perempuan tanpa apa-apa yang untuk bertahan hidup saja terasa terlalu berat? Hanya perempuan yang ingin selesaikan studinya dengan tenang agar bisa bawa hidup yang bahagia untuk adiknya. Hanya perempuan yang lelah, yang sudah sampai di titik mau marah pada dunia pun tidak ada sisa tenaga.

Aku miringkan posisi tidurku. Bawa genggaman erat tangan Mahesa untuk mendekat. Sepertinya ia tertidur saat aku terlelap.

Jam berapa ini? Kenapa Mahesa tidak pulang saja?

Gerakanku yang menoleh ke sekeliling sepertinya justru membangunkan Mahesa.

Ya Tuhan, Rana. Bisa tidak kamu berhenti menyusahkannya?

"Maaf, aku bangunin kamu, ya?"

Mahesa tersenyum. Kuap muncul di belah bibirnya.

"Gak apa-apa. Aku gak niat tidur tadi, tapi malah ketiduran."

"Kamu gak pulang?"

"Tadi katanya kangen?"

"Iya, memang kangen," cicitku dengan suara kecil. "Tapi kamu kelihatannya capek. Kamu perlu istirahat di rumah."

"Nanti aja, aku mau disini." Jemari Mahesa terasa mengusap punggung tanganku di genggamannya.

"Aku gak apa-apa."

"Aku tetep mau di dekat kamu walaupun kamu gak apa-apa." Mahesa hela nafas. "Rana, maaf ya. Karena akuㅡ"

"No. Jangan minta maaf. Nanti aku nangis."

"But you're already crying."

"Nanti aku nangisnya tambah kenceng."

Mahesa tertawa. Jemarinya yang bebas bergerak pelan mengusap ujung mataku yang basah karena air mata.

"Tapi aku harus minta maaf. Maaf karena kemarin-kemarin aku gak menemani, maaf karena kemarin-kemarin aku gak mengerti. Harusnya aku gak paksa kamu buat dengerin penjelasan Ibu. Harusnya aku tetap jadi Mahesa yang selama ini selalu ada, dan paham kalau kamu butuh waktu. I'm sorry."

"Gak apa-apa, jangan minta maaf lagi. Kamu gak salah apa-apa," jawabku dengan suara setipis lembaran tisu. Beruntung aku masih bisa bersuara walaupun tangisku belum juga mereda.

Mahesa ini senang sekali mengetuk sasaran titik yang paling tepat, menyentuh tempat yang paling akurat dengan kata-katanya.

Beberapa kali kata maaf masih terucap dari Mahesa sembari kepalaku diberikan usapan terlembutnya. Aku paham, ia sedang memberiku waktu untuk tenang, untuk puaskan tangis agar keluar semua sampai rasa sedih dan pedih pergi tak bersisa. 

"Ibu...Ibu tadi udah cerita semuanya."

Aku tarik nafas dalam. Sesak sekali rasanya setelah menangis sepanjang itu. Namun di saat yang bersamaan, rasa lega luar biasa hadir karena segalanya yang aku pendam beberapa minggu terakhir ini sudah tuntas aku keluarkan semua.

"Kayaknya, kurang lebih sama seperti apa yang Ibu bilang ke kamu. Ibu pergi untuk selamatin dirinya sendiri dulu. Aku ingat, dulu memang Bapak gak pernah sekasar ini sama aku dan Mario. Ibu bilang hal yang sama, kalau alasannya ninggalin aku berdua Mario karena Ibu pikir Bapak gak akan bertindak sejauh ini. Ibu bilang, dia pergi untuk cari rasa aman, dan dia akan jemput aku dan Mario kalau segalanya udah siap. Ibu juga masih sering perhatiin aku sama Mario dari jauh. Dari situlah Ibu tau kalau kami gak baik-baik aja."

Aku pejamkan mataku dua detik untuk mengusir genangan air bening yang memenuhi pengelihatanku.

"Katanya, beberapa kali Ibu liat aku keluar rumah dengan memar, atau sambil nangis, atau dahiku berdarah. Ibu minta tolong sama orang yang selama ini membantu Ibu buat coba ngobrol sama aku."

"Tante Naomi?"

"Kamu tau?"

Mahesa tersenyum kecil. "Ibu kamu udah cerita semuanya."

Aku mengangguk. "Iya, Tante Naomi. Pak RT juga. Makanya waktu itu aku dapat surat dari Ibu, lewat Pak RT. Ibu bilang, Pak RT juga udah setuju untuk bantu kita ngelawan Bapak."

"Pasti. Semuanya pasti mau bantu kamu, Sayang."

Aku pejamkan mata lagi. Tangan Mahesa yang masih setia menggenggam tanganku, aku bawa mendekat untuk cari hangat.

"It still doesn't feel real."

"And it's okay. I will be here until everything feels real"

"Kita masih harus lawan Bapak di pengadilan, ya?"

Mahesa mengangguk.

Rasanya seperti ada gumpalan batu di tenggorokanku setiap mengingat tentang sosok itu. Tapi di titik ini, sepertinya sudah tidak lagi ada pilihan untuk mundur. Masih banyak rasa takut, tidak sedikit rasa ragu, masih penuh rasa trauma yang ada.

Tapi, aku sadar bahwa kali ini, semuanya harus selesai.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang