Pantone 600 U

104 8 0
                                    

[Mahesa]

"Kamu di kampus? Kok gak istirahat dulu aja di rumah?"

Aku jepit ponselku dengan telinga dan bahu. Tanganku sibuk mencari kunci mobil yang seingatku semalam ku letakkan di atas laci kamar, selepas aku pulang dari rumah sakit.

Hari ini jadwalku dimulai agak siang. Matahari sudah menyala bercahaya warna kuning terang. Telepon dari Rana masuk saat aku sedang bersiap berangkat untuk bekerja. Kabar yang tidak kuduga adalah, Rana saat ini sedang berada di kampusnya. Aku kira ia masih beristirahat di rumah karena kejadian tiga hari yang lalu.

Ternyata Rana masih memiliki tekad yang sama besarnya, tidak berkurang sama sekali.

Dan rasa khawatirku juga sama besarnya. Ya Tuhan.

"Hehehe aku udah sehat kok. Obatnya juga tinggal sedikit. Udah gak pusing, udah bisa jalan tanpa keliyengan."

Pening kepalaku karena risau.

"Tapi luka nya? Belum kering, kan? Farhan bilang apa waktu kamu tanya lewat chat?"

Aku memang memberikan nomor ponsel Farhan kepada Rana, kalau-kalau dalam keadaan emergensi (yang ku harap tidak akan pernah terjadi), Rana butuh menghubungi Farhan. Bagaimanapun, Farhan adalah dokter yang menanganinya. Kontrol luka Rana sampai sembuh, penuh ada di tangan Farhan.

"Eemmm...Dia bilang apa gitu ya pokoknya udah gak parah! Beneran!"

Aku hela nafas. Pasti dia tidak konsultasi dengan Farhan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk beraktivitas kembali.

"Jangan gitu dong sayang. I love my Rana so much, please dont hurt her."

"I'm not hurting myself, don't worry."

Kunci mobilku akhirnya ketemu.

"Terus sekarang, rencananya sampai kapan mau di kampus? Pulang nanti jam berapa? Gak ada shift kan di parlor? Kamu masih izin sakit, kan?"

Sembari aku mulai berjalan ke luar kamar, terdengar Rana tertawa di seberang sana.

"Banyak banget pertanyaannya kayak wartawan. Udah ah, dosen pembimbing aku udah datang. Nanti aku telfon lagi ya."

"Kamu nih," aku geregetan, tapi Rana hanya tertawa lagi di ujung telepon. Buat aku ikut tersenyum.

Suara tawanya begitu membahagiakan.

"Ya udah, hati-hati, ya? Gak boleh sakitin Ranaku, oke, Rana?"

"Hahahahaha iya, siap! Kamu juga, selalu hati-hati. Semangat jaga nya hari ini."

"Pasti, sayang."

Aku tersenyum

Panggilan terputus setelah aku dan Rana bertukar salam. Sosok Mama di ruang TV menyambut pandanganku saat aku keluar kamar.

"Ma? Gak jadi ke rumah Tante Zee?" kata ku sambil menyimpan ponsel di saku celana.

Seingatku, Mama bilang hari ini ada janji dengan teman SMA-nya pukul sebelas. Sekarang sudah setengah satu, kenapa Mama masih di rumah.

"Iya. Tapi Mama nungguin kamu. Ada yang mau diomongin dulu," kata Mama. Mama menepuk sofa di sebelahnya. "Sini duduk sebentar."

Sepertinya aku tahu kemana arah pembicaraan ini akan berjalan.

"Sa, ini tentang Rana. Kamu tau kan, Mama sayang sama Rana? I see her as my real daughter, not only my son's lover. Dan melihat Rana kemarin, jujur, Mama marah sekali, Mahesa."

Aku bisa melihat semua yang dikatakan Mama dengan ril. Mama menyayangi Rana, menganggap Rana sebagai anaknya dan bukan sekadar kekasih anak laki-lakinya, dan bagaimana Mama emosi saat melihat Rana terluka, aku melihatnya. Semuanya bukan omong kosong.

Maka dari itu, aku biarkan Mama ungkapkan semua yang ada di kepalanya.

"Mama khawatir, Sa. Dari apa yang Rana bilang, Mama bisa nyimpulin kalau ini bukan pertama kali Papanya ngelukain dia secara fisik, kan? Sampai separah ini. Mau separah apa lagi? I can't imagine it. I don't want to imagine what will happen to her ifㅡ"

"Ma, Mama tenang." Aku berusaha menenangkan Mama yang seperti akan menangis.

Sejak kejadian di rumah sakit, selalu topik tentang Rana yang Mama bicarakan. Setiap hari, Mama akan selalu bertanya pada Rana mengenai kondisinya. Aku sampai harus mengingatkan Mama agar tetap menjaga ritmenya saat menghubungi Rana, agar Rana tidak overwhelmed.

"Apa gak bisa kamu sama dia nikah aja secepatnya?"

Kalau rahanhku bisa lepas dan jatuh ke lantai, hal itu pasti akan terjadi karena saat ini aku sangat terkejut.

Bukan berarti aku tidak bernah berpikir ke arah sana. Aku selalu menginginkannya; membawa Rana ke halaman baru yang lebih serius. Aku memiliki mimpi itu.

Tapi, aku tidak menyangka Mama akan dengan gamblang menyuruhku untuk menikahi Rana seperti ini. Sepertinya kejadian tiga hari lalu betul-betul menyulut Mama.

"Sa? Bisa, gak? Mama cuma gak mau Rana kenapa-kenapa. Kita gak tau, mungkin aja Papanya bisa ngelukain dia lebih parah dari ini. She's a good girl, i'm really worry about her."

Aku menghela nafas.

"Ma," ucapku. "Aku juga gak mau Rana kenapa-kenapa. Tapi kita harus hargain keputusan Rana, ya? Aku jagain Rana sejauh yang ia izinkan. I don't want to cross the line. Not when she is not ready, yet."

Mama memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya sendiri, ku rasa.

Setelah beberapa detik, Mama kembali menatapku tepat di mata.

"Kenapa? Kamu gak mau nikah sama dia? Atau kalian emang gak ada rencana kesana?"

"Bukan, Ma. Bukan itu. Aku sama Rana udah pernah bahas ini."

"Lalu kenapa?"

Seandainya Mama tahu sebesar apa keinginanku untuk membebaskan Rana dari semua yang menyangkutpautkan dirinya dengan Bapak.

Tapi apa yang bisa kuperbuat jika Rana tidak mengizinkanku untuk melindunginya lebih dari ini?

At the end of the day, i just want to respect her decision.

"Because it's not that simple, Ma."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now