Pantone C4E8F6

68 4 0
                                    

[Rana]

Hari berlalu begitu saja tanpa terasa. Seakan kejadian beberapa minggu lalu tidak pernah terjadi, langit masih biru cerah walau terkadang tertutup abu polusi. Burung masih lalu lalang berkicau meramaikan suasana tanpa henti. Dunia masih sama. Yang berubah, hanya duniaku.

Tidak ada lagi pulang ke rumah bertemu Bapak dan ribuan macam caciannya yang seperti tidak ada habisnya. Tidak ada lagi menghabiskan siang dan sore hariku dengan scoop eskrim yang dan jejeran jajanan dingin nan manis.

"Udah ketemu dosennya? Gimana?"

Satu yang paling berubah adalah, pengerjaan skripsiku berhenti sementara.

Di saat ini, aku mulai sadari kalau memang manusia adalah makhluk yang serba terbatas. Mencoba melewati batas kemampuan dengan memaksa segala hal untuk diselesaikan di saat yang bersamaan justru membuat segalanya berantakan, tak beraturan.

Jadi, aku mulai batasi diri. Tidak mungkin lagi aku memaksa diri untuk lebih lelah dari ini. Dengan keadaan seperti sekarang, aku coba selesaikan masalah mulai dari bagian yang paling menyiksa.

Menyelesaikan segala masalah dengan Bapak.

"Udah," aku hela nafas. "Agak malu sih waktu ceritanya, tapi untungnya beliau paham, dan ngerti alasan aku untuk nggak maju sidang di semester ini."

"Syukur kalau gitu. Udah lega, ya? Satu, selesai."

Aku tersenyum. Mengangguk.

Mahesa usak rambutku sebentar, kemudian ia dekatkan tubuhnya ke arahkuㅡ

ㅡoh, ternyata aku belum pasang sabuk pengamanku. Haha. Masih deg-degan ternyata.

"AC mobilnya kedinginan, gak?"

"Aku udah sembuuuhh."

Mahesa garuk-garuk pipinya yang aku yakin sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Emang kenapa sih, kalau aku tetap khawatir? Gak boleh ya?" katanya. Ketara sekali usahanya tutupi rasa malu.

"Iya, gak apa-apa. Boleh boleh." Aku semakin tertawa.

Mahesa beri aku senyum manisnya. "Gimana kos-kosan, nyaman gak?"

"Kamu udah tanya itu setiap hari selama dua minggu ini," aku tertawa lagi. Begitu mudahnya untuk Mahesa membuat aku tertawa.

"Iya, ya?" Tangan Mahesa singkirkan helai rambutku yang bergerak tutupi mata. "Jawab aja, aku tetap mau tau kabar terbarunya apa."

"Nyaman, kok. Gak ada yang gangguin. Mario malah udah kenalan sama anak yang tinggal di lantai bawah. Umur mereka beda dua tahun."

"Oh iya? Siapa namanya?"

"Galih? Gilang? Kayak gitu deh, aku lupa."

"Hmmm," Mahesa menggumam. "Ibu jadi nanti malam nginep?"

Ada sesuatu yang hangat muncul di dalam hatiku saat Mahesa mengungkit tentang Ibu. Mungkin ini yang dikatakan dengan memaafkan.

"Katanya jadi," jawabku singkat. Masih antah rasanya membicarakan tentang Ibu. Terkadang, masih terasa tidak nyata kalau Ibu sekarang ada di dekatku, benar-benar ada .

Ekspresi di wajah Mahesa melembut.

"Besok kita ke kantor polisi, kan?"

Aku mengangguk.

"You'll be fine. It's our battle, kamu gak berjuang sendirian. Jangan terlalu khawatir, ya?"

Aku balas senyum Mahesa dengan senyuman yang aku harap, sama hangatnya. Sama menenangkannya. Sama artinya.

"Terima kasih."

Mahesa baru akan jalankan mobilnya, saat ponselnya yang ada di kompartemen antara kursi kami bergetar.

"Sa, itu ada telfon."

"Angkatin aja sama kamu, Sayang."

Aku mengangguk. Nama kontak bertuliskan 'mama' tertulis di layar.

"Aku loudspeaker ya?"

Mahesa jawab dengan anggukan. Dengan jantung yang sebenarnya agak berdebar, aku angkat panggilan tersebut.

"Halo, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh, Rana?"

"Iya, Tante. Maaf Rana yang angkat, Mahesanya lagi nyetir soalnya."

"No, it's okay dear. Tante malah lebih seneng ngomong sama kamu dari pada sama Mahesa."

"Ma, sama Rana diloudspeaker nih. Kedengeran sama aku, loh."

"Ya bagus kalau kamu dengar," jawab Mama penuh kelakar. "Rana apa kabar, Sayang?"

Aku tertawa kecil melihat wajah Mahesa yang merengut.

"Baik, Tante. Tante gimana, sehat?"

"Alhamdulillah kalau kamu baik-baik aja. Ibu dan Mario gimana? Sehat juga?"

Percakapan mengalir begitu saja dengan Tante Amalia. Beberapa kali mama mahesa lontarkan canda yang undang tawa. Di sana sini, Tante Amalia mengajak Mahesa untuk masuk ke dalam percakapan. Rasanya nyaman, rasanya menyenangkan.

"Rana mau gak Tante kirimin ayam balado? Si Mahesa udah dimasakin, dimakannya cuma sesendok."

"Mau Tante, mau banget kalau boleh."

"Ma," selak Mahesa. "Itu pedas, ya. Aku kan gak doyan pedas. Mama tega banget bikinnya pedas begitu."

"Latihan, dong. Kamu tuh, lidahnya lidah bayi. Pedas dikit nangis."

Ekspresi di wajah Mahesa sangat lucu dan konyol, buat aku reflek tertawa.

"Nanti Tante kirimin ya. Kalau kamu udah sampai rumah, kabarin aja, ok?"

"Iya Tante, nanti aku hubungin. Terima kasih banyak."

"Sama-sama, Dear. Oh iya, kayaknya lebih enak kalau kamu manggilnya Mama aja, ya? Biar sama kayak Mahesa. Jangan pakai tante lagi. We are more than that, right?"

Ampun.

Rasanya aku mau pingsan.

"Rana?"

"Ma, Rana shock." Ujar Mahesa, lalu tertawa. "Matanya melotot gitu, lucu banget."

"Hahahaha, kaget ya, Rana? Kalau belum siap, gak apa-apa. We'll take it slow, okay?"

"I-iya Tante. Nggak kok, gak apa-apa."

Jantungku rasanya seperti terjun menembus lantai mobil Mahesa.

Sisa percakapan berlalu seperti scene film yang blur. Tante Amalia tutup telepon dengan seporsi ayam balado yang akan ia kirim sebagai janji.

Mahesa tertawa, melihat wajahku yang masih sisakan rasa terkejut disana.

"Kaget banget diomongin gitu sama Mama, ya?"

"Hampir pingsan, kayaknya."

Mahesa tertawa lagi

"Kalau aku, kapan?"

Aku menoleh, kerutkan dahi, bingung. Di sebelahku, Mahesa masih sibuk memegang kendali stir mobil. Tapi, senyum kecil masih senantiasa hiasi bibirnya.

"Apanya?"

"Aku kapan dipanggil pakai 'Mas'?"

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now