Pantone 19-0912 tcx

107 10 0
                                    

[Mahesa]

"Jadwal pagi?"

Pertanyaan Farhan menyambutku yang baru masuk ruang ganti khusus dokter.

"Ngagetin astaga. Gue kira gak ada orang."

Farhan tertawa kecil. Ia duduk di kursi panjang dengan kaki kiri terlipat di atas kaki kanannya.

"Iya, jadwal pagi," kataku selanjutnya, menjawab tanya Farhan di awal tadi.

Jaket hitam yang kukenakan dari rumah aku sampirkan di loker, sekenanya. Masih ada tiga puluh menit sebelum aku stand by seperti biasa. Aku putuskan untuk duduk di samping Farhan. Memeriksa ponselku sejenak, siapa tahu ada pesan dari Rana atau Mama.

Dua orang terpenting di hidupku.

Satu kopi kaleng dengan kemasan cokelat tua Farhan sodorkan tanpa kata secara tiba-tiba. Dinginnya buatku menjengit sejenak. Tanganku secara reflek memegang kaleng kopi agar tidak jatuh dan menghasilkan bunyi memekakkan telinga.

"Tumben," ucapku. Tidak biasanya Farhan, si anti kafein minum kopi.

"Lagi pengen aja," jawab Farhan enteng. "Rana gimana?"

Kaleng kopi keluarkan bunyi yang khas saat aku buka tutupnya. Satu sesap aku teguk sebelum jawab pertanyaan Farhan.

"Baik. Luka yang waktu itu udah sembuh semua kayaknya."

"Udah gak ada keluhan lagi?"

Aku mengangguk. "She's good now. Makasih, sekali lagi. Gue bersyukur banget waktu itu lo yang lagi jaga, jadi lebih enak ngomongnya."

Farhan terdiam tiga detik, sebelum mengangguk satu kali. "Bagus deh kalau dia udah ok. Gue balik, Sa. Ngantuk."

Kopi aku sesap sekali lagi. "Yoo. Thanks buat kopinya."

Dua kali tepukan di bahu kanan aku dapatkan sebelum Farhan berjalan dan berlalu ke arah pintu.

Tepat setelahnya, ponselku bergetar. Nama Rana muncul di sana. Munculkan senyum di bibirku di saat yang sama. Entah bagaimana menjelaskannya secara logika, namun kehadirannya bawa bahagia begitu saja, tanpa usaha.

"Haloooo? Aku belum telat, kan? Kamu belum mulai kan jaganya?"

Aku tersenyum kecil sebentar, sebelum mencoba mengumpulkan kewarasan yang berceceran karena ide tentang berbicara dengan Rana bawa rasa riang yang begitu banyak.

"Belum, kok. Aku masih di ruang loker."

Tiba-tiba Rana berbicara dengan berbisik.

"Ih, ada orang lain gak disana? Aku barusan ngomong kencang banget kayaknya."

Tawa tidak bisa kutahan lagi. "Gak ada, sayang."

Suara kekehan Rana terdengar dari seberang sambungan.

"Syukur kalau gitu," katanya. "Aku mau minta temenin sebentar, boleh?"

"Boleh. Lama juga gak apa-apa."

"Tapi kamu mau kerja?"

"Gak apa-apa. Pentingan kamu."

"Stop disitu atau aku matiin."

Ranaku pasti sedang tersipu di ujung sana. Suara salah tingkahnya terdengar jelas walaupun nada bicaranya ia buat galak menggigit. Aku gemas, ingin melihat ekspresi lucunya dengan pipi memerah.

"Iya, ampun," jawabku setelah tertawa. "Ya udah, selama aku ada waktu sampai sebelum mulai jaga? Gimana?"

"Boleh. Setujuuu."

Sepuluh menit, atau mungkin tiga belas menit? Aku tidak tahu. Yang pasti waktu berlalu begitu saja sembari aku mendengarkan celotehan Rana mengenai skripsinya yang ternyata ada beberapa kesalahan ketik di bagian daftar isi. Selanjutnya, Rana bercerita tentang riangnya Mario bawa pulang origami bentuk katak dari temannya. Rana juga bertanya mengenai hariku dan apa yang buatku bahagia dari pagi.

Percakapan bersama Rana selalu seperti ini. Ringan namun tak pernah gagal untuk membuat hari jauh lebih berarti.

"Aku semalem dilempar kotak makan isi gulai ayam sama Bapak. Kena tulang betis. Memar sedikit, tapi gak apa-apa."

"Kamu kenapa?!" Tanpa sadar suaraku agak meninggi.

Ibarat tadi aku duduk di atas karpet awan bersama semilir angin yang tenang, tiba-tiba saja jantungku dijatuhkan ke bawah jurang tanpa peringatan.

"Jangan teriak. Aku gak apa-apa kok. Kan kamu udah sering lihat, hehehehe."

Rana berbicara seakan-akan hal ini adalah sesuatu yang lumrah terjadi pada setiap orang, setiap hari. Seakan hal ini makanannya dari senin sampai pekan berganti. Dan hal itu, buatku merasa tercubit di hati.

Tidak seharusnya seseorang seceria Rana menormalisasi hal seperti ini untuk terjadi di hidupnya.

Tapi aku tahu, menjelaskan hal ini padanya tanpa tatap muka hanya akan buat suasana menjadi masam. Sebisa mungkin kutahan kefrustasianku untuk lain waktu.

"Gulai itu, kayaknya buatan Ibu. Bapak temuin di kamar aku."

"Ibu? Kamu ketemu Ibu?"

"Nggak. Cuma ketemu kotak bekalnya. Itu juga dalam keadaan udah dilempar Bapak."

"Are you okay?"

Rana diam beberapa ketukan, sebelum menjawab dengan pelan.

"I'm trying to."

Nada suara Rana terdengar sendu. Dengan cepat aku ubah fokus pembicaraan. Tak ingin Rana sedih saat aku tak ada di sampingnya.

Ralat.

Tak ingin Rana sedih sama sekali.

"Terus gimana memarnya? Udah diobatin?"

"Udah. Tadi malam aku tanya ke Kak Farhan."

"Farhan? Kok gak tanya aku?"

"Kan obat dari Kak Farhan waktu itu masih ada. Jadi aku tanya aja boleh gak dipakai buat memar yang kali ini."

"Kamu kasih fotonya ke dia?"

"Iya. Kamu mau fotonya juga?" Canda kembali menyelimuti ucapan Rana. Ia tertawa kecil.

"Iya," jawabku kepalang cepat dengan nada yang terlalu serius.

Jeda dua detik, tidak ada kata terdengar dari Rana. Aku buru-buru menambahkan. Takut ia curiga dengan nada bicaraku yang tidak biasa.

"Aku mau lihat benar gak memar kamu boleh pakai obat oles yang kemarin. Kan pinteran aku dari pada Farhan," kata ku dengan nada bergurau.

Rana tertawa.

"Iya nanti aku kasih fotonya ya dokter Mahesa yang paling hebat se-angkasa raya."

Aku tersenyum mendengarnya.

Rana lanjut bercerita mengenai hal lainnya. Namun, kepalaku masih bolak-balik kepada fakta kalau Farhan sudah tahu kalau Rana terluka, lebih dulu dari pada aku.

Mungkin pertanyaan Farhan yang tadi juga mengenai kondisi memar Rana yang baru saja Rana bicarakan. Bukan tentang luka yang Rana alami beberapa waktu belakang.

Memang terdengar kekanakan. Tapi siapa yang bisa tolak datangnya rasa cemburu?

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang