Pantone 109c

101 7 0
                                    

[Rana]

"Aku turun, ya?"

Mahesa menjawab tanyaku dengan usapan lembut ibu jarinya pada pergelangan tanganku yang di genggaman hangatnya. Ia kembalikan tanganku ke posisi nyaman di samping paha.

"Jangan lupa telfon kapanpun, dan dengan alasan apapun."

Aku terkekeh.

Bukan hanya kupu-kupu, tapi seekor burung garuda rasanya sedang mengepakkan sayapnya yang megah dengan semarak di dalam perutku.

Di saat-saat seperti inilah aku tidak ingin Mahesa terluka. Alasan inilah yang membuatku tidak ingin kekasihku terlibat dalam hal apapun yang berkaitan dengan Bapak di ujung seberangnya.

Jangan sampai Mahesa menjadi incaran Bapak. Tidak boleh.

"Khawatir banget, ya?"

Mahesa bersandar di kursinya. Tubuhnya masih lurus menghadapku. Tatapan matanya teduh, seperti rindangnya pohon bintaro di tepi jalan saat matahari menggila teriknya.

Berada di dekat Mahesa selalu terasa seperti itu. Menenangkan. Terasa disayang.

"Nggak, kok. Aku tau kamu lebih dari mampu untuk jadi hebat. Tapi, boleh kan kalau aku mau nemenin? Aku ingin selalu ada. Walaupun lagi gak terjadi apa-apa, gak ada hal yang spesial, gak ada apapun yang krusial, aku ingin aku ada."

Rasanya aku ingin meledak sangkin bahagianya aku saat ini.

Mungkin ini cara Tuhan meminta maaf padaku, karena sosok pria yang seharusnya menjadi panutan dan cinta pertamaku, justru sosoknya serupa iblis yang ingin menciptakan neraka bagiku di setiap harinya.

Tuhan hadirkan Mahesa sebagai kompensasi atas segala luka.

Atau sebagai hadiah kecil karena sampai saat ini, aku masih bertahan.

Rasanya aku sangat cinta Mahesa, sampai-sampai aku bertekad untuk selalu menjadi baik-baik saja agar aku pantas bersamanya selamanya.

"Aku sayang," bisikku. Hanya itu yang mampu kuucapkan. Kuharap dua kata itu mampu mewakili sejuta rasa yang kupunya untuk Mahesa.

"Me too. Sayang kamu, gemeeess."

"ADUH!"

Mahesa tertawa setelah berhasil menarik hidungku dengan jari tangannya.

Dasar.

"Udah ah. Akunya jadi gak turun-turun gara-gara kamu."

Masih dengan siswa tawanya, Mahesa mengangguk. Ia buka kunci pintu mobilnya, lalu merapikan helaian rambutku yang turun di bahu.

"Selamat istirahat."

"Kamu juga. Terima kasih buat hari ini."

"Kapanpun, sampai jutaan hari ke depan."

Setelah mobil Mahesa berlalu di jalan hingga hilang di tikungan depan, barulah aku masuk ke dalam pagar.

Sesuatu yang keras kemudian basah menyapa betisku sesaat aku membuka pintu rumah.

Terkejut, tapi aku sudah tidak heran. Mana ada hariku berjalan dengan lancar dan tenang sampai mata dipejamkan. Kebahagiaan harus dibayar dengan kesakitan secara konstan. Begitulah cara dunia menyulam takdirku beberapa tahun ke belakang.

"Kamu tau Ibumu dimana?"

Aku tatap kuah kuning khas ayam gulai buatan Ibu yang masih kuhapal persis rupa dan rasanya, kini tumpah di sekitar kaki ku.

Lelucon macam apa ini? Kenapa bisa ada masakan Ibu di rumah ini, setelah bertahun-tahun ia pergi tanpa permisi atau sekadar satu-dua alasan untukku mengerti?

"KALAU DITANYA ITU JAWAB. BISU KAMU?!"

Aku tarik nafas dalam. Tulang keringku berdenyut nyeri, besok pasti lebam. Tempat makan dari plastik itu retak pinggirnya. Semoga kakiku tidak.

"Nggak. Aku gak pernah ketemu Ibu."

"Terus ini apa? Kamu pikir Bapak goblok kayak kamu?"

Tidak. Jangan menangis. Aku tidak sudi buang-buang air mata untuk manusia keji seperti Bapak.

"Aku gak bohong. Aku emang gak pernah ketemu Ibu."

Bapak merangsek maju dengan menggebu-gebu. Detik selanjutnya, rasa sakit menghujam kepala dan leherku.

Selalu seperti itu.

Dengan kepalan tangannya, Bapak dorong kepalaku tanpa membatasi tenaga yang ia keluarkan. Leherku bunyi, tapi aku masih bisa bernafas.

Mungkin suatu hari akan datang dimana leherku memutuskan jembatan yang biasa dilalui udara ke paru-paru. Entah.

Di saat-saat seperti ini, aku benci hidup.

"KOTAK MAKAN INI ADA DI KAMAR KAMU. DARI MANA KALAU BUKAN DARI PEREMPUAN GAK TAU DIRI ITU?!?!"

"AKU GAK TAU!!!"

Perih.

Sekarang Bapak menamparku. Hanya dua langkah jaraknya dari pintu.

Tadi, di balik pintu, di sisi lain pintu, aku masih merasa bahagia. Seperti segalanya baik-baik saja saat bersama Mahesa.

Sekarang, bahkan neraka mungkin tidak ada apa-apanya.

"Gak tau terima kasih ya kamu. Masih untung kamu masih bisa hidup setelah perempuan itu pergi. Harusnya kamu pergi aja, biar sekalian Mario gak usah punya Kakak gak berguna kaya sampah."

Mario. Alasanku satu-satunya untuk tetap bertahan tinggal di neraka ini.

"Kalau sampai ketahuan kamu dan perempuan biadab itu ketemu diam-diam, kamu bakalan menyesal seumur hidup."

Aku kepalkan tangan. Bersiap-siap jika saja Bapak melakukan sesuatu lagi, karena ia melangkah ke arahku. Namun, hari ini Tuhan berbaik hati. Bapak hanya berjalan ke pintu, sebelum menendang kotak bekal sampai membentur kaki meja makan di sudut seberang ruangan.

"Bersihin."

Setelahnya, pintu dibanting dari luar.

Dan aku hanya bisa duduk dan menangis menyedihkan.

Benci. Aku benci seperti ini.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now