Warna Tak Kasat Mata

79 6 0
                                    

[Mahesa]

Seakan kakiku menapak dengan tidak benar, aku sedikit terhuyung ke depan setelah memarkirkan mobil se-rapi yang ku bisa di tengah keburu-buruanku ini.

Tanpa menunggu pusing kepalaku sedikit reda, aku berjalan ke arah parlor. Pelipisku ku pijat sedikit karena rasa sakit yang semakin mencekit. Dalam hati berharap dengan sangat agar semoga Rana masih ada. Semoga perjalananku kesini tidak sia-sia.

Kerincing bel khas parlor berbunyi saat pintu kaca ku buka dengan cepat. 

Di sana, beberapa langkah di depanku, berdiri Rana tanpa apron bekerjanya. Tas selempang tersampir di bahunya. Rambut panjangnya terikat dengan tidak begitu kuat, beberapa helainya jatuh di dahi dan samping wajahnya. Wajah yang aku rindukan sampai nyaris gila.

"Rana," hela nafasku dalam saat aku memanggil namanya.

Rana menatapku seperti melihat hantu. Mungkin jika berkaca, aku akan paham sudut pandangnya. Kantung mataku sepertinya sudah tidak manusiawi. Entah bagaimana bentuk tatanan rambutku saat ini. Tidak ada waktu untuk mengurusnya.

"Oh my god. Akhirnyaㅡkamu kemana aja?" tanyaku, putus asa.

Seakan semua tenaga yang ku punya habis terkuras di detik aku melihat Rana. Utuh, selamat, sehat, di depanku secara nyata. 

Tanpa menjawab pertanyaanku, Rana melewatiku dan berjalan ke luar. Dengan terburu, aku mengejar langkahnya yang cepat. Beberapa meter dari parlor, lengan Rana berhasil ku genggam. Langkahnya berhasil ku hentikan.

"Kamu ngapain?" tanya Rana. Nada bicaranya tidak seperti biasa. Seperti ada rasa marah di sana.

"Nyari kamu. Kamu kenapa? Gak ada kabar berhari-hari, aku kesini berkali-kali tapi kamu gak pernah ada. Kita kenapa, Rana?"

Rana memejamkan matanya. Hela nafas putus-putus yang ia hembuskan terasa sampai ke tangan kami yang masih bertautanㅡtanganku yang masih menggenggam.

"Kita gak apa-apa."

"Di aku, ya? Salahnya ada di aku?"

"Bukan," Rata gigit bibir bawahnya yang bergetar. Kini bukan hanya kepalaku yang sakit, tapi hatiku juga rasanya ikut tercabik.

"Kenapa?" tanyaku pelan. Bukan maksudku menekan Rana seperti ini. Jika bisa, aku akan selalu berikan Rana ruang dan waktu sebanyak yang ia mau. Tapi aku juga manusia yang terbatas, dan batasku untuk menahan segalanya hanya sampai di sini. Aku tidak mungkin bisa menjalankan satu hari dipenuhi dengan rasa gelisah lagi.

"Aku butuh waktu sendiri."

"Rana, please. Jangan gini." 

Entah tangan siapa yang gemetar lebih awal. Kami berdua sama-sama dihujani emosi yang berjatuhan tanpa ampun. Tautan tanganku dan Rana kini gemetar seakan diguncang rasa yang tak kasat mata.

"Ibu kembali, Mahesa."

"I know. Aku bakal nemenin kamu, i'm not gonna leave you just because of this."

Rana menghela nafas berat. Helaan nafas yang membawa beban berat luar biasa menimpa dadaku. Sesak, sangat sesak rasanya melihat wanitaku seperti ini.

"Sa," suara Rana kian bergetar.

Ya Tuhan.

"Kembalinya ibu bikin aku hancur. Kamu gak ngerti."

Pipi kiriku basah akan satu tetes air mata. Persetan dengan laki-laki yang tidak boleh menangis. 

"Aku benci sama ibu yang udah seenaknya pergi, lalu tanpa diminta tiba-tiba kembali. Aku benci karena dengan kembalinya ibu, bapak akan punya alasan lebih untuk mengamuk dan lagi-lagi, aku harus lari. Aku benci untuk jadi satu-satunya pihak yang harus selalu paham."

Hancur berantakan dari dalam dan luar ragaku mendengar racau Rana yang penuh air mata. 

"Aku capek. Aku mau hilang, tapi aku punya Mario, aku punya kamu. Iya, aku ganti jadwal shift aku, supaya kita gak ketemu. Supaya aku bisa tenang dulu, dan supaya ibu juga gak bisa cari aku."

"Rana, Sayang. Ibu cerita ke aku."

Rana mendengus.

"Kalian udah ketemu?"

"Ibu cerita semuanya," jawabku, hati-hati. Tidak mau memperparah luka menginfeksi yang sudah Rana punya lebih dari ini.

"Terus kamu percaya?"

"Rana," ucapku pelan. Tidak tahu harus menjawab apa. Aku ingin Rana mengerti, bahwa kini Tante Kirana sudah bisa menyediakan aman dan nyaman untuknya. Aku ingin Rana dapatkan rasa aman dan nyaman itu.

"Kamu lebih paham apa yang ibu rasakan, dari pada aku?"

"Rana, bukan gitu."

"Terus gimana, Sa? Kamu mau aku percaya sama ibu yang bilang kalau gak akan lagi aku ditinggalkan? Kalau selama ini ibu jagain aku dari jauh? Sa, kamu lihat sendiri kalau aku datang penuh warna. Ungu, merah, biruㅡdari lebam sampai luka yang terbuka, yang kelihatan sampai yang gak kasat mata. Kamu yang selalu tau!"

Rana berteriak. Di detik itu juga hatiku meronta ingin membawa Rana ke pelukanku, tapi kakiku bertahan di tempatnya. Biarkan kepalaku menang, bertahan dengan rasionalitasnya untuk membiarkan Rana melampiaskan segalanya.

"Dan sekarang kamu mau aku berdamai gitu aja sama ibu, saat aku bahkan belum bisa berdamai sama nasibku sendiri?"

"Rana, ibu kamu punya bukti yang bisa bawa bapak ke penjara. Ibu kamu mau kamu aman, dia mau perbaiki semua. Aku juga, aku mau kamu aman. Aku gak mau lihat kamu kayak gini terus, Rana, please? Trust me."

"Kalau ibu dan aku menang. Kalau nggak? Kalau semuanya gak cukup untuk ngehukum bapak? Aku harus nanggung amukan bapak lagi?"

"Rana." Lagi-lagi, aku hanya bisa memanggil Rana dengan putus asa. 

Rana menarik tangannya dari genggamanku. Bawa jutaan silet tak kasat mata menghujam ke dalam dadaku dengan hampanya tanganku kini.

"Biarin dulu aku damai sama diriku sendiri, ya, Sa? Aku mohonㅡhuks, aku capek."

Aku hanya bisa terdiam, ikut mengalir air mataku seirama dengan air mata Rana yang jatuh tanpa henti.

"Kalauㅡkalau kamu lupa, aku pernah janji untuk selalu hubungin kamu kalau terjadi apa-apa. Aku masih ingat janji itu." Rana hapus air matanya.

"Rana."

Rana menggeleng. Hentikan kalimatku, buatku tidak bisa bicara lebih jauh.

"Aku capek, aku mau pulang." Air mata Rana kembali jatuh. "Aku janji aku akan telfon, tapi biarin aku pulang sendiri."

Senyum yang Rana berikan tidak mencapai matanya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak egois dan menariknya ke dalam dekapan.

"Aku akan telfon, Mahesa. Aku janji."

~

a.n

rana pulang guys. bakal ada apa di rumah? 👀

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now