Pantone 877c

172 23 0
                                    

[Rana]

Tiga jam sebelum tepat tengah malam. Aku sudah bergelung dalam selimut tipis warna abu muda. Lampu kamar kubiarkan menyala temaram. Tidak terlalu terang, perbaiki suasana agar lebih terasa tenang dan nyaman.

Keberuntungan rasanya seperti sedang memayungiku hari ini. Bapak tidak ada di rumah saat aku pulang dua jam yang lalu. Sepatunya juga tidak terlihat di belakang pintu. Setidaknya, kepulanganku tidak disambut dengan racau dan kata-kata kasar yang menyerang tanpa tentu.

Tidak tahu kemana. Tapi, aku menolak peduli akan hal itu untuk hari ini. Aku ingin nikmati dulu rasa tenang yang jarang hadir menemani.

Bunyi derit pintu menarik fokus ku. Mario, adikku yang kini berumur sepuluh, muncul di sana dengan piyama kesayangannya. Pelan-pelan, Mario masuk ke kamar. Langkahnya penuh hati-hati. Adikku memang seperti itu, cautious.

"Kenapa? Kok belum tidur? Kamu belum makan?"

Mario gelengkan kepalanya. "Udah," jawabnya. "Mau tidur sama Kakak."

Aku tepuk sisi kanan kasurku, beri ruang untuk Mario dan isyaratkan agar ia tempati sisi yang tersedia. Aku selimuti kakinya dengan selimut yang sama.

"Aku senang, Kakak pulang hari ini pas Bapak gak ada."

"Iya? Kenapa gitu?"

"Jadi Kakak gak dimarahin."

Kesayanganku. Alasanku untuk selalu pulang. Yang selalu membuatku lebih berani dan kembali masuk ke rumah ini, walaupun rasanya di luar sana lebih menyenangkan.

"Bisa aja," candaku sambil colek sikunya. Salah satu usaha untuk mencairkan suasana. Aku tidak mau menangis, tahu.

"Beneran, ih," rengek Mario. Ia pukul pahaku dengan kepalan tangannya, timbulkan rasa sakit yang tidak seberapa.

"Bapak selalu bilang; 'Jangan kayak Kakak. Perempuan. Lemah. Bisanya nyusahin, gak pernah bantuin Bapak. Sama aja kayak Ibunya' ke aku. Padahal, Kakak kasih aku uang jajan. Kakak juga yang beli bahan makanan,"

Mario mulai marah. Pipinya basah. Adikku ini, pengisi hatiku, menangis. Menangisi aku.

"Kenapa aku gak boleh bilang ke Bapak kalau Kakak baik dan ngurus rumah waktu Bapak gak ada? Kan Kakak jadinya gak dimarahin."

Aku peluk tubuh Mario yang kurus. Melihatnya menangis buat aku merasa seperti dibangunkan di malam buta secara tiba-tiba. Bingung, hilang arah. Buat aku ingin menangis juga.

"Nanti malah kamu yang dimarahin karena ngebela Kakak. Gak apa-apa, Kakak kan udah gede."

Ironisnya, aku malah tertawa. Kalian pernah merasa sedih sampai rasanya tidak sudi untuk menangis dan pilih banting setir menertawakan kenyataan yang sepertinya sudah tidak tertolong lagi? Ya. Itu yang aku rasakan sekarang.

Bagian depan bajuku ditarik Mario untuk seka ingusnya. "Orang gede juga masih harus dilindungin," protesnya. Cara pikir Mario yang terkadang lebih bijak dari pada anak seusianya buat aku takjub.

"Iya. Nanti kalau udah saatnya Kakak perlu dilindungin sama kamu, pasti Kakak bilang."

"Janji?" Mario tawarkan jari kelingkingnya di depan wajahku. Terlalu dekat, hampir mencolok lubang hidungku.

Aku tersenyum. "Janji."

Jari kelingking kami tertaut. Aku kecup dahinya, dan eratkan pelukanku di tubuhnya. Mario teriak protes, tapi menyerah setelah tiga detik, dan kini malah nyamankan posisinya dalam selimut.

"Oh iya, Kak. Aku selalu senang lihat Kakak pulang dianter Kak Mahesa. Kakak selalu senyum waktu buka pagar rumah." Mario bicara dengan mata yang sudah tertutup.

Ternyata selama ini ia perhatikan aku saat pulang. Ini baru untukku. Pertama kalinya aku dengan pengakuannya yang satu ini.

Tapi, rasanya agak malu. Jadi saat aku senyum-senyum karena habiskan hari bersama Mahesa rasanya selalu semenyenangkan itu, Mario melihatku. Astaga.

"Iya. Cantik gak Kakak?"

Mario mengangguk. Dari gelagatnya, sepertinya ia hampir terlelap pulas.

"Aku titip makasih buat Kak Mahesa, ya. Karena udah bikin Kakak senyum. Tapi, jangan pernah bikin Kakak nangis. Nanti aku marah."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now