Warna-Warni Cerita Kita

94 4 0
                                    

a.n

plis baca a.n yang di bawah ya. aku tulis sesuatu :")

~

[Mahesa]

"Hai."

"Jangan bilang hai."

Aku tertawa saat Rana menangis lagi sampainya ia di pelukanku, setelah membuka pintu. Wajahnya sembab. Aku tebak, ia sudah menangis sangat banyak sedari tadi. Tidak seperti biasanya, yang kurasa hari ini setelah mengetahui bahwa Ranaku baru saja menangis adalah rasa lega, bukan lagi amarah atau gundah.

"Kenapa jangan hai?" kata ku, sembari beri usapan di kepalanya, berharap bisa tenangkan deru nafasnya yang berkejaran.

"Assalamualaikum, harusnya."

Aku tertawa lagi.

"Oh iya, maaf ya?"

Rana mengangguk. Tak lama, ia angkat wajahnya dari tempat persembunyiannya di bahuku. Di detik yang sama, Tante ..... datang menyapa.

"Eh Mahesa. Kok di depan aja? Masuk sini," sapanya, ramah.

Aku tersenyum. "Ini, ada yang nubruk sambil nangis tiba-tiba, Tante," jawabku, yang langsung dihadiahi satu cubitan secara instan oleh Rana.

Tante Amalia ikut tersenyum. "Diajak masuk dulu Mahesanya, Sayang."

"Iya, Bu."

Sosok Mario masih tertidur lelap di atas sofa ruang tamu yang panjangnya tidak seberapa. Tante Amalia angkat Mario ke gendongannya. 

"Ibu pindahin Mario ke kamar, ya."

Rana mengangguk, kemudian membawaku duduk di sofa. Tangannya tak henti menggenggam tanganku, yang kubalas sama eratnya.

"Gimana perasaannya?"

"Capek nangis, tapi lega." Rana hembuskan nafas. "Masih terasa gak nyata."

"It's okay, pasti overwhelming  banget, ya?"

Rana mengangguk. "Ini beneran? Aku gak perlu khawatir Bapak tiba-tiba muncul di depan pintu dan ngamuk lagi? Am i safe now? Aku kok cengeng banget, ya?"

"Nooo, gak apa-apa nangis. Justru harus dikeluarin, biar gak ada yang tersisa," aku menggangguk, sembari hapus air mata rana dengan ibu jariku. "Also, yes, it's real. And you're safe, now. As safe as you could be."

Ponselku bergetar di dalam saku celana. Nama Mama muncul di sana.

"Mama telfon," bisikku, di tengan isakan Rana. "Assalamualaikum, Ma."

"Waalaikumsalam, udah sampe rumah Rana? Gimana keadaan Rana, Sa?"

"Masih nangis, Ma," ucapku, melirik Rana, dengan maksud meledek untuk menghibur. Berhasil, alis Rana menukik, tidak lagi sendu.

"Ih," protesnya. "Jangan dibilangin." Lalu ia tarik ingus. Aku tertawa.

"Anaknya marah tuh dibilang masih nangis, Ma."

"Hahahaha. Mana coba sini, Mama mau denger suaranya Rana."

Aku atur panggilang menjadi mode loud speaker. Rana melotot.

"Udah aku loud speaker, Ma."

"Oh, okay. Assalamualaikum Rana, anak Mama."

Rana berdeham beberapa kali sebelum menjawab.

"Waalaikumsalam, Ma." Ah, aku masih belum terbiasa mendengar Rana memanggil Mama dengan sebutan yang sama. Jantungku masih jungkir balik dibuatnya.

"Ya ampun sampai serak begitu suaranya. Udah, jangan nangis lagi ya. You're free now. You'll be okay, sweet heart."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now