Pantone 11-0601 TPX

91 8 0
                                    

[Mahesa]

Seperti rasanya tiba-tiba sampai di ujung terowongan tanpa ingat bagaimana kamu melangkah masuk. Itu adalah apa yang kurasakan saat ini. Hal terakhir yang kuingat adalah menunggu Rana dengan hadiah ulang tahunnya.

Samar-samar aku bisa mendengar suara-suara orang di sekitar. Namun, tidak ada satupun kata yang mampu kupahami. Semuanya seperti mendengung. Seakan kepalaku sedang tenggelam, semua suara samar dan redam.

Usapan kecil terasa di punggung tangan kanan. Sekuat tenaga kuupayakan agar kelopak mataku membuka. Sudah cukup kegelapan, aku ingin melihat terang.

Persis saat mataku membuka, lirih isak tangis menyapa kedua telinga.

Duduk di sampingku: Rana. Wajahnya tertunduk, tertutup helaian rambut yang ia gerai begitu saja. Bahunya naik turun. Terasa erat kedua genggaman tangannya di tanganku. Dadaku sakit melihatnya, dan aku tahu pasti rasa sakit seperti ini bukan akibat dari pukulan Om Arifin tadi.

"Hey," ucapku. Pelan.

Rana mengangkat wajahnya. Terlihat jelas kini kedua mata yang biasanya berkerling penuh tawa kini berair karena duka. Hidung dan pipi Ranaku merona. Bibirnya bergetar. Kerutan di dahinya dalam.

"Halo," balasnya dengan suara serak. Aku tersenyum kecil.

"Dont cry."

"How can i?"

Tangis Rana tambah kencang. Kini ia jatuhkan kepalanya di lengan atasku. Jemarinya makin mengerat menggenggam jemariku. Seakan aku akan hilang ditelan ranjang putih rumah sakit jika ia kendurkan pegangannya barang sedetik.

"Kamu kenapa begitu, sih?"

Kini yang bisa kutatap hanya langit-langit ruang Instalasi Gawat Darurat yang sangat-sangat kukenali ini.

"Maaf ya," aku berkata. Ibu jariku bergerak mengusap ruas-ruas samping jari telunjuk Rana.

"Aku yang minta maaf," kata Rana. Suaranya terredam lenganku.

Ingin tertawa, tapi kepalaku masih denyut sana-sini.

"Jangan minta maaf. Kan lagi ulang tahun."

Rana keluar dari tempat persembunyiannya. Ia kini menatapku lagi, masih dengan kedua matanya yang basah.

"I hate my birthday."

"Gak boleh. I love your birthday. Your birthday brought you here, brought you to the world, brought you to me."

"My birthday brought you pain. Karena mau ketemu aku hari ini, kamu jadi luka."

"Gak apa-apa, sekali-sekali. Jadi tau apa yang biasanya kamu rasain," jawabku dengan senyum tipis.

Satu tetes air mata bergulir lambat di pipi kiri Rana. Kuhapus dengan jemariku yang bebas dari genggamannya.

"Maaf. Kamu cuma mau rayain ulang tahun pacar kamu, tapi malah luka. Kalau pacar kamu bukan aku, gak akan ada kejadian seperti ini."

Suara Rana kian memelan di akhir kalimatnya. Berbanding terbalik dengan genggaman tangannya di tanganku yang kian mengerat.

"Udah, ya? Jangan bilang hal-hal yang kayak gitu. Aku gak akan punya pacar kalau orang tersebut bukan kamu."

Rana menunduk, menatap tautan tangan kami. "I love you, so much," lirihnya.

"You know i love you too."

Tirai pembatas terbuka dengan pelan. Tiana muncul di sana, menggandeng Mario di sebelahnya.

"Kakak," ucap Mario pada Rana. Melihat Kakaknya, Mario langsung melepas tangan Tiana dan berdiri di dekat Rana. Matanya menatapku dengan ragu-ragu.

"Sudah makannya?" tanya Rana.

Mario mengangguk. Ia melangkah mendekat, sampai tangannya berhasil menyentuh selimutku. Tangan kecilnya memberi usapan halus di sana.

"Kak Mario gak apa-apa?"

"Gak apa-apa, sayang," jawabku.

"Kak Farhannya mana?"

"Farhan?" Tanyaku heran saat Rana tiba-tiba bertanya mengenai Farhan pada Mario.

"Tadi Mario sama Kak Farhan di luar. Mungkin dia abis jaga, aku gak tau. Tapi Kak Farhan nawarik jaga Mario waktu aku bawa kamu tadi."

Masih banyak pertanyaan dalam kepalaku yang berantakan. Tapi belum sempat aku utarakan satupun pada Rana, Mario sudah kembali bertanya.

"Kak Mahesa gak akan nginep di rumah sakit, kan? Kata guru aku, kalau orang nginep di rumah sakit, berarti sakitnya parah," kata Mario dengan wajahnya yang sedih. Menggemaskan.

Aku tak bisa menahan senyumku.

"Kak Mahesa baik-baik aja, kok. Habis ini boleh pulang pasti."

"Ehmm, actually, as your doctor, im not allowing you to go home, yet Sa. Maaf tapi masih ada beberapa pemeriksaan. Just to be safe, because...you know. You got hit on one of the crucial part of your body," kata Tiana. "Gue juga udah kasih kabar ke Tante, she'll arrive soon."

"My God, Tiana, gue gak apa-apa. Pukulannya gak sekeras itu."

"Just incase, okay?"

Hembusan nafas aku helakan. Aku tahu, jika pembicaraan ini dilanjutkan, rasa bersalah yang Rana rasakan hanya akan semakin membesar dan meradang. Lebih baik disudahkan secepat mungkin.

"Okay. Hasilnya pasti bagus."

Tiana diam. Mungkin ia sadar apa maksud ku dan mengapa aku tidak mendebatnya lebih lanjut.

"Rana, kamu lapar?"

"Enggak, gak apa-apa. Terima kasih."

Tiana mengusap bahu Rana pelan.

"Okay, i'll leave you guys alone."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now