After Rain Chapter 4

2 3 0
                                    

🍁 After Rain Chapter 4 🍁


🍁Duduk termenung di ranjang empuk, perhatian Judhy teralihkan begitu terdengar ketukan pintu. Seorang wanita paruh baya berkulit putih dengan rambut hitam terurai dan bergelombang di ujungnya, menghampiri Judhy dengan langkah tergesa.

Menyambut wanita itu, Judhy turun dari ranjang, tangannya terulur hendak cium tangan. Namun, sebuah tamparan keras lebih dulu mendarat di wajahnya. Tangan Judhy yang terulur seketika turun ke sisi tubuh tanpa berani melihat mata ibundanya.

"Bagaimana bisa di hari pertamamu sekolah, kau sudah membuat keributan? Jelaskan pada Bunda!"

"Kurang satu." Judhy membalas masih melihat lantai, mengabaikan perkataan ibundanya.

"Maksudmu?"

"Ayah tadi menamparku dua kali."

Mendengar penuturan putrinya, pupil mata sang bunda membesar sesaat, mendadak hatinya diselimuti rasa bersalah.

Sambil tersenyum, Judhy mengangkat kepala untuk melihat sang bunda dengan sebisa mungkin menahan air mata agar tidak jatuh. "Silakan tampar aku satu kali lagi, Bun, agar adil. Atau Bunda mau melakukannya lebih pun, tidak apa-apa, kok."

Ibunda Judhy yang biasa dipanggil Nyonya Kristin memalingkan wajah dari tatapan putrinya. "Ayah tadi ke sini?"

"Ya," jawab Judhy cepat.

"Lalu di mana Ayah sekarang?"

"Tidak tahu dan tidak mau tahu."

Mendengar suara sang putri yang begitu dingin, Nyonya Kristin menoleh, lalu tatapannya beradu dengan mata Judhy.

"Kita bicarakan lagi nanti."

Usai mengatakan itu, Nyonya Kristin berlalu pergi. Sedangkan Judhy, gadis itu mendaratkan diri duduk di bawah sisi ranjang tanpa berminat mencegah kepergian sang bunda. Dua kakinya menekuk ke atas dan tatapannya lurus ke depan dengan sorot mata tampak kosong.

Kemudian, dia menyandarkan kepala pada sisi ranjang, tangan kirinya memegangi kening yang sudah diperban. Detik berikutnya dia merasakan ada yang keluar dari hidung, tangan kanannya bergerak untuk menyentuh sesuatu yang mengganggunya, darah.

"Aku tidak akan jadi seperti ini, Yah, Bun, kalau saja kalian mau meluangkan sedikit waktu untukku," katanya pelan sembari memejamkan mata.

Sementara di kamar Nyonya Kristin, pupil wanita itu sempat melebar saat baru saja masuk dan mendapati sang suami duduk memunggunginya. Menaruh sling-bag di nakas, Nyonya Kristin lalu mengambil duduk di tepi ranjang. Sepasang suami-istri itu duduk saling memunggungi satu sama lain dengan raut wajah tampak lelah.

Menyibak rambut yang menghalangi mata dan menahannya di kepala, Nyonya Kristin lantas berucap, "Adek bilang Mas sudah menemuinya, apa itu benar?"

"Ya." Sang suami yang biasa dipanggil Tuan Yohan menjawab singkat tanpa menoleh.

"Katanya Mas sudah menamparnya dua kali."

"Ya."

Menyesal sudah berlaku kasar pada putrinya, satu tangan Nyonya Kristin yang menganggur ikut menyibak rambut bagian kanan dan menahannya di kepala. Matanya terpejam penuh rasa bersalah. Ruangan bercat serba putih itu terasa begitu lengang. Keduanya tenggelam dengan pikiran masing-masing.

Menatap lantai dengan sorot sayu, isi kepala Tuan Yohan terus memutarkan memori beberapa menit lalu. Waktu di mana pria itu masuk ke kamar putrinya dengan membawa kemarahan.

Ya, Tuan Yohan mendapatkan laporan dari tangan kanannya yang biasa menjadi wali untuk Judhy. Sedangkan sang 'tangan kanan' mendapatkan informasi langsung dari pihak sekolah, bahwa Judhy terlibat keributan.

Tanpa basa-basi saat berhadapan dengan Judhy, Tuan Yohan langsung melayangkan dua tamparan keras pada putrinya. Hingga Judhy pun merasakan perih di pipinya yang memerah.

"Kenapa kau itu selalu bersikap seenaknya, hah?!" sarkas Tuan Yohan menatap marah pada Judhy yang tertunduk.

"Di hari pertamamu sekolah saja kau sudah memancing perhatian banyak orang, bagaimana nanti ke depannya?" Tuan Yohan menoyor kepala Judhy dengan telunjuknya. "Atau kau sengaja memancing keributan agar identitas aslimu terbongkar? Iya? Kau ingin orang-orang tahu bahwa kau adalah anak Ayah?"

"Bukankah Ayah sudah mendapatkan informasi dari Pak Lim tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi di sekolah pagi tadi? Kenapa masih tanya? Lalu memang apa salahnya kalau orang-orang tahu kalau aku anak Ayah?"

"Ayah sudah mengeluarkan banyak uang untuk merahasiakan identitasmu yang sebenarnya dari muka umum. Kalau sampai kau membocorkan pada teman-temanmu atau guru-gurumu, Ayah tidak akan ragu mengirimmu untuk sekolah di luar negeri. Ingat itu!"

Tanpa mau menunggu balasan dari Judhy, Tuan Yohan langsung berlalu pergi begitu saja.

Mengingat betapa kasar dirinya pada Judhy, membuat Tuan Yohan diselimuti rasa bersalah dan penyesalan. Namun, hal itu tidak lantas mampu mencegah Tuan Yohan untuk berhenti bersikap kasar pada putrinya. Kesalahan kecil yang dilakukan Judhy selalu terlihat bagaikan api yang berkobar di matanya. Api yang harus secepat mungkin dipadamkan bagaimana pun caranya. Termasuk keributan di kantin sekolah yang melibatkan Judhy. Meskipun Tuan Yohan tahu dari tangan kanannya yaitu Pak Lim bahwa putrinya hanya membela siswi lain dari perundungan, tetap saja baginya tampil mencolok di depan umum adalah kesalahan. Dan Tuan Yohan sudah sering mengatakan pada Judhy agar tidak membeberkan identitas aslinya pada siapa pun, termasuk untuk tidak terlibat urusan orang lain.

Tuan Yohan menyadari kalau dirinya terlalu ketat dalam menjaga putrinya, tetapi pria berkacamata itu seolah tidak memiliki pilihan kecuali melakukan hal tersebut.

"Ayah minta maaf, Nak," batin Tuan Yohan, lalu meremat jemarinya yang saling terkait.

"Aku juga tadi sudah menamparnya, Mas. Dan aku menyesal sudah melakukannya," kata Nyonya Kristin memecah sunyi di ruangan itu.

"Kenapa melakukannya? Seharusnya biarkan saja aku yang jahat padanya, kau jangan. Agar dia punya tempat untuk bercerita."

"Aku kelepasan. Saat di rumah sakit tadi dan mendapat kabar kalau Judhy mengalami luka karena berseteru dengan teman satu angkatan, aku jadi panik dan khawatir di saat bersamaan. Lalu aku gegas ke sini untuk menemuinya. Aku menamparnya bermaksud untuk memberinya peringatan agar tidak bertindak lebih jauh lagi. Apa lagi kalau mengingat dua bulan lalu saat dia dirawat di rumah sakit, aku takut hal itu terulang lagi."

"Dan aku yang sudah membuatnya sampai harus dirawat di rumah sakit. Aku minta maaf," sambung Tuan Yohan, menyesal.

"Tidak apa-apa. Sudah berlalu juga. Tapi aku mohon, jangan melakukan kekerasan secara berlebihan lagi, Mas."

"Iya."

Sedangkan orang yang sedang dibicarakan, masih melamun di samping ranjang. Beberapa lembar tisu yang berhias cairan merah tercecer tidak jauh darinya.

"Aku punya segalanya, tapi kenapa aku tidak bahagia?" gumamnya, lalu melempar tisu yang baru saja dia gunakan untuk mengusap darah dari hidung.

"Ayah ... Bunda .... Mereka tidak pernah meluangkan waktu untukku. Apa mereka sengaja melakukannya? Tapi kenapa? Apa ada yang mereka sembunyikan dariku? Atau jangan-jangan aku hanya anak angkat di keluarga ini sampai mereka tidak mau orang-orang tahu kalau aku anak mereka?"

Menyandarkan kepala pada ranjang, Judhy lalu mendongak dan menatap langit-langit kamar. Sorot matanya tampak sayu, wajahnya pun terlihat lelah. Gadis itu merasakan sakit di kepala dan nyeri pada luka sudut kening bagian kiri. Tangannya lemah terangkat untuk menyibak rambut.

"Ayah, Bunda, apa kalian marah karena keyakinan baruku? Kalau iya, aku minta maaf. Aku ... benar-benar minta maaf, Yah, Bun. Aku mohon jangan membenciku." Judhy memejamkan matanya, merasa lelah akan takdir hidup yang harus dijalaninya.

"Yah, Bun, aku tahu kalian pasti kecewa atas keputusanku pindah keyakinan, tapi aku mohon ... tetap anggap aku sebagai anak kalian. Tidak peduli kalaupun kenyataannya aku ini hanya anak angkat kalian," katanya dalam hati.

***

Satu kata untuk chapter ini?

___

Dipublikasikan: 1 Januari 2023 (20.29 WIB)

After Rain Season 1 (END)Where stories live. Discover now