Martabak Cinta

1.8K 90 4
                                    

**

Pernah makan martabak manis bertoping kacang dan ceres coklat?

Aku yakin pernah.

Pernah mencoba membuat si martabak itu sendiri dan dalam waktu yang bahkan sudah dua tahun masih saja belum bisa membuatnya?!

Aku yakin sangat jarang ada orang yang begitu!

Jika ingin martabak, tinggal beli di depan komplek. Murah. Kenyang. Dan tidak perlu repot!

Lalu, apakah kalian pernah di hadapkan pada seorang penjual martabak yang kebanyakan omong dan menyebalkan?!

Aku tidak tahu sih jawabannya. Mungkin rata-rata kalian pernah bertemu orang seperti itu.

Meski tidak harus penjual martabak.

Kali ini aku akan memperkenalkanmu pada seorang temanku, putra dari bapak yang menjual martabak di depan komplek perumahan tempat tinggalku.

Namanya Untar, sebut saja begitu. Dia asli Padang, itu katanya, aku tidak tahu faktanya.

Dan dia satu kelas denganku!!!

Ceritanya, pak Ujang, bapaknya Untar, ingin sekali menikmati masa tuanya. Jadi, dia berusaha mewariskan bakatnya mengolah martabak pada anak bungsunya itu.

Hanya saja, Untar itu tipe orang yang banyak mengoceh daripada belajar. Jadi, selama dua tahun ini, dia tidak juga berhasil membuat martabak dengan benar.

Dan aku mau bertanya pada kalian. Pertanyaan terakhir.

Pernahkah kalian merasa begitu muak pada martabak?!

Aku begitu. Aku muak pada makanan khas yang Untar sebut sebagai makanan merepotkan juga menyusahkan itu.

Kenapa aku muak pada martabak?

Simpel saja. Untar kan belajar. Dan setiap martabak yang dia buat akan di berikan padaku dan si Untar akan memaksaku untuk menghabiskan si martabak gagalnya itu.

Karena terlalu sering makan martabak buatan Untar yang tidak ada enak-enaknya itu, aku sampai lupa pada rasa martabak yang enak!

Terima kasih banyak, Untar!!

"Wirooooo....!!!! Tungguuuuu!!!" Untar berteriak alay dan berlari mengejarku.

Bahkan dari ekspresi wajahnya saja membuatku curiga mendadak atas alasan dia memanggilku begitu saat jam pulang sekolah ini.

"Apa?" Tanyaku malas saat Untar sudah berhasil mengimbangi langkahku. Nafasnya terengah-engah karena marathon singkat tadi.

"Yuk pulang ke rumahku, hari ini aku di paksa bapak buat martabak." Untar terdengar seperti mengeluh.

Aku menghela nafas gusar. Tidak suka. Muak martabak pada buatannya. kesal. Tidak mau muntah.

"Tidak, terima kasih. Aku mau tidur siang saja!" Sahutku tegas.

Tapi, si Untar nih tipe-tipe pantang menyerah jika dalam hal memaksakan kehendak. Kenapa tekadanya itu tidak dia gunakan saat membuat martabak saja sih?

Kenapa dia menggunakannya hanya untuk memaksaku 'menikmati' martabaknya?!

"Wiro....ayo dong!" Dia mulai menampilkan ekspresi anjing tersesat yang susah di tolak itu. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Untar! Udah ah, jangan pasang pose kaya korban perang gitu!" Sergahku.

Tapi, bukan Untar namanya jika dia langsung kalah. Cowok itu malah memepetiku, memeluk lenganku dan mendongak, kembali membuat ekspresi minta di kasihani itu!

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now