KITA (3)

583 41 4
                                    

***

Aku tidak tahu kalau air mataku sudah mengalir deras saat memarahinya.

Aku berdiri, melempar buku di tanganku ke wajahnya yang masih memandangku dengan ngeri.

Hatiku sakit dan tidak karuan.

"Bagaimana ini bisa terjadi?!" Aku menjerit.

Aku tidak pernah bicara dengan nada keras padanya selama ini. Aku sangat sayang padanya. Tapi, fakta yang baru aku tahu ini benar-benar membuatku sakit.

Berlembar-lembar foto berjatuhan di kakiku dari halaman-halaman buku yang adalah 'album kenangan' milik Audy itu. Aku bahkan tidak bisa melihat banyaknya foto itu.

Foto itu...

Foto Audy dengan Lucky, suamiku!

Audy berdiri dan mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya.

"Bagaimana ini bisa terjadi?! Jelaskan padaku?!"

"Aku bisa apa?! Semua itu masalalu!!" Dia balas menjerit.

Aku menggeleng. Tubuhku lemas. Aku merasa kepalaku sangat sakit karena hal ini.

"Itu sudah lama, sebelum aku ke London kami sudah putus!"

Kalian tidak akan paham bagaimana perasaanku! Aku merasa di bohongi oleh dua orang yang sangat aku cintai. Pertama adikku, lalu suamiku!

Aku duduk di atas karpet dan menangis, aku tidak tahu harus bagaimana dan terus menangis. Hatiku sakit. Tubuhku sakit. Semuanya terasa sangat menyakitkan.

Audy jongkok di depanku, "aku...aku sudah tidak mencintai dia lagi" katanya.

Aku tidak mengatakan apa-apa. Saat ini aku tidak ingin mendengarkan apa-apa.

"Irene..." Audy menyentuh bahuku, "...aku...aku serius." katanya lagi.

Aku memandangnya, "lalu, menurutmu, setelah aku mengetahui hal ini, aku bisa baik-baik saja, begitu?"

Audy menggigit bibirnya.

Aku mengusap air mataku dengan kasar, "apa kamu tidak akan cerita padaku tentang ini? Apa begitu?"

"Aku memang berniat membawa masalah ini hingga ke liang kubur." jawabnya.

"Audy!" Bentakku.

"Apa aku harus cerita, heh?! Kamu begitu memujanya!! Apa menurutmu aku sanggup jujur?!" Teriaknya.

Aku menggeleng dan menyembunyikan wajahku dengan tangan.

Tuhan, aku merasa...

***

Aku mengantar Irene pulang ke rumah barunya. Dengan kondisi dia yang seperti ini, aku tidak bisa membiarkan dia pulang sendiri.

Aku tidak pernah berpikir dia akan mengetahui masalaluku dengan Lucky. Tidak. Aku sepenuhnya berharap sampai ajal kami, dia tidak usah tahu. Tapi, sepertinya Tuhan memiliki rencana lain.

Sepanjang perjalanan Irene terus memandangku.

Aku tidak suka caranya memandang. Ada marah, kecewa dan kasihan di mata itu. Aku tidak suka dia begitu padaku!

Aku...tidak suka di kasihani.

Tanpa sadar air mataku jatuh. Aku jauh lebih sakit. Jauh lebih lelah. Berkali-kali aku harus menghapus air mataku karena aku sedang mengemudi.

"Jangan memandangku begitu!" Aku membentak saat sekali lagi memergoki Irene menatapku iba.

"Kamu adikku!"

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now