Holiday

648 14 0
                                    

**

Aku suka pantai. Aromanya. Anginnya. Suasananya. Wangi garam dan badai yang begitu pekat terasa sangat menenangkan hati. Sejak kecil aku tinggal di pesisir pantai, Kakek adalah seorang pensiunan PJKA merangkap sebagai nelayan juga. Aku sudah sangat terbiasa dengan wangi-wangi jaring yang baru pulang dari laut, berburu ikan dan makhluk laut lainnya. Aku selalu suka menonton saat Kakek memperbaiki jaring-jaring ikan miliknya, mendengarnya bercerita tentang kehidupannya di zaman dulu saat Indonesia belum merdeka. Kakek lahir tahun 1942, beliau banyak bercerita tentang kehidupan Kakek buyut juga yang cuma sedikit sempat ku kenal. Aku suka mendengar segala ceritanya. Menakjubkan, seperti mendengar pelajaran sejarah di tengah-tengah aktifitas Kakek yang memperbaiki jaring-jaring itu.

Tapi, walaupun aku hidup di pesisir yang sudah tidak asing dengan aroma pantai dan segalanya, aku tidak bisa berenang. Aku bahkan pernah nyaris tenggelam saat mencoba berenang. Sejak itu aku tidak mau mencoba lagi.

Setelah dewasa dan mendapat pekerjaan, aku terpaksa meninggalkan kampung halaman, tempat di mana aku di lahirkan dan besar. Awalnya memang berat, tapi hidup harus terus berjalan kan? Aku cuma bisa pulang ke rumah sebulan sekali, atau kalau tidak terlalu capek, aku pulang dua bulan sekali. Ada rasa kangen tersendiri dengan masakan nenek yang walaupun serampangan, tetap enak di lidah. Aku suka masakan nenek, karena sejak kecil aku tinggal dengan nenek. Kedua orangtuaku berpisah dan ibuku harus bekerja untuk biaya hidup kami, jadi selama ibu bekerja, aku di titipkan pada nenek.

Aku suka saat nenek masak ikan, walau cuma dengan garam dan bawang merah, aku tetap suka, walau cuma seadanya, aku tetap suka. Tidur di bawah bilik anyaman dengan suara angin kencang, aku tetap betah. Suka.

Well, siapa sih yang tidak menyukai kampung halaman, kan? Sejauh apapun kita pergi, kampung halaman akan tetap menjadi tempat untuk kembali. Sepahit apapun kenangan di dalamnya.

"Kakek udah gak nyari ikan lagi?" Tanyaku, menemani Kakek di teras rumah sambil mendengarkan radio klasik yang masih terawat dengan baik.

Kakek sudah tua, tapi tubuhnya masih tegap dan kekar. Hanya saja, kesehatannya kadang tidak bisa di ajak kompromi.

"Nenek yang larang, sejak ada tsunami itu nenekmu jadi takut kalau Kakek dekat-dekat pantai," jawab Kakek lalu menghisap cerutunya.

"Tsunami itu kan udah lama, Kek. Tapi, emang sih, udah ah mending Kakek di rumah aja dengerin lagu dangdut," kataku geli.

Kakek terkekeh, memamerkan gigi-giginya yang sudah pada tanggal, "kamu sama nenekmu, sama saja," katanya.

Aku nyengir, menghela nafas panjang, "bibi kemana?" Tanyaku beralih topik.

"Lagi pulang ke rumah mertuanya, katanya sih lagi ruwahan di sana. Jadi, di suruh masak," kata Kakek.

Aku cuma mengangguk. Bibiku itu sebaya denganku, dia sudah punya dua anak dan saat ini sedang mengandung anak ketiga. Hubungan kami agak renggang sejak kecemburuannya yang mulai tidak jelas padaku, karena suaminya memang agak sialan.

"Padahal aku pengen main ke pantai, gak ada temen gini, males kan, Kek?"

"Lah, biasanya juga sendiri, ajak aja ibumu sana," kata Kakek.

Aku menggeleng, "ibu meh alasan dingin mulu."

Kakek tergelak, tidak mengatakan apa-apa. Aku merogoh ponsel guna melihat jam. Sudah hampir tengah hari, aku juga sudah agak bosan. Jadi, aku pamit pada Kakek untuk pergi ke pantai. Tidak apa-apa sendirian juga. Apalagi nenek juga menjanjikan akan masak cumi saat aku pulang nanti, lupa kalau aku tidak bisa lagi menikmati masakan laut sejak beberapa tahun lalu.

Aku duduk di pantai, sendirian. Memandangi anak-anak yang sedang berenang dengan gaya acak. Aku cuma mengambil beberapa foto guna dokumentasi. Aku ingat lagi saat kejadian Desember lalu di mana tsunami terjadi, waktu itu aku ngeri, walaupun tidak terkena dampak serius, tetap saja terasa horor, beberapa hari tinggal di pengungsian, sungguh sesuatu buatku.

Kumpulan CerpenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora