KITA (1)

974 45 0
                                    

***

Aku tersenyum bahagia, memandang pantulan wajahnya dari cermin, sementara aku cuma berdiri di belakangnya. Dia tersenyum pada bayanganku.

"Bahagia?" Tanyaku sambil melangkah mendekat.

Dia mengangguk dan berbalik, memamerkan senyum manisnya, "apakah baju ini cantik?" Tanyanya manja.

Aku merapihkan rambutnya, "kamu yang membuatnya cantik."

Wajahnya merah dan langsung memelukku. Mungkin dia menyembunyikan wajah malunya itu dariku. Aku balas memeluknya.

"Kalau begitu kita ambil yang ini?" Bisiknya.

Aku mengangguk.

Kami akan menikah. Kurang dari satu bulan lagi. Sementara keluarga kami menyiapkan yang lain, aku dan calon istriku ini menyiapkan hal yang lebih penting. Seperti undangan, cincin dan gaun.

"Tapi, sepertinya aku ingin ada bunga-bunga yang lebih banyak di roknya" katanya sambil melepaskan pelukanku. Dia menunduk memandang gaun yang masih melekat sempurna di tubuhnya yang pendek itu.

"Kita bisa menambahkan kalau Anda berkenan," sahut seorang karyawan butik yang sejak tadi berdiri diam.

"Baiklah, aku ambil ini."

"Kamu tidak mau berubah pikiran, Irene?" Tanyaku memastikan.

Irene menggeleng, "aku suka ini, walaupun harus merombak beberapa hal ku rasa. Ekor gaunnya terlalu panjang," keluhnya.

Itu karena kamu yang terlalu pendek, sayang... Sahutku dalam hati.

Tidak lama kemudian, kami sudah ada di mobil, Irene terlihat sangat bahagia, dia terus berbicara tentang gaun tadi. Kami cuma akan membeli tiga gaun untuknya guna pernikahan itu. Aku tidak masalah dia mau beli berapa. Tapi, tiga itu sudah angka pas, begitu kata orang tuanya. Sehingga Irene yang sepertinya mau lebih, jadi diam tak membantah.

Aku menepikan mobil di sebelah mobil Mercedes hitam milik orang tua Irene. Gadis itu menoleh dan tersenyum lebar.

"Dia pulang!" Pekiknya histeris. Aku cuma mengerutkan kening tidak paham maksudnya.

Irene buru-buru melepaskan sabuk pengaman, tidak sabar.

"Hei, siapa maksudmu?" Tanyaku mengikutinya melepas sabuk pengaman.

Irene tidak menjawab dan keluar mobil dengan tergesa. Aku buru-buru mengikuti langkah pendeknya, dan memaksanya berhenti.

"Siapa yang kamu bicarakan?" Desakku.

Irene menggenggam tanganku dan matanya berbinar, "Adikku, dia pulang dari London, ayo aku kenalkan dia padamu." tahu-tahu tanganku di tarik masuk ke dalam rumah.

Di ruang tengah semua keluarga Irene berkumpul. Irene adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dia memiliki seorang kakak laki-laki yang sudah menikah dan memiliki sepasang anak kembar berusia lima tahun. Dua bocah itu sedang bermain dengan pengasuh mereka.

Dan Irene juga memiliki seorang adik perempuan, yang katanya kuliah di London, aku tidak pernah bertemu dengan adiknya itu. Karena aku baru mengenal Irene satu tahun yang lalu, dan kami memutuskan untuk menikah setelah empat bulan berkencan.

"Audy!!!" Pekik Irene, melepaskan tanganku dan menghambur memeluk gadis yang sejak tadi memunggungi kami.

Semua tergelak melihat tingkah Irene.

Aku berdiri, membeku.

Ini tidak mungkin!!!

Perlahan Audy berbalik, tersenyum pada Irene. Tapi, dia melihat ke arahku dan aku merasa seperti tertembak oleh seorang sniper melihat mata itu. Lagi.

Tanpa sadar kakiku bergerak mundur. Tubuhku gemetar.

"Ah, Lucky, sini." kata Mama Irene.

Aku tersenyum kaku dan melangkah mendekat. Irene melepaskan pelukan adiknya dan tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya dengan paksa.

"Kenalin, dia Audy, adikku," katanya.

Aku memandang Audy yang cuma menyeringai, "halo, kak Lucky." sapanya.

Aku menelan ludah, "hai." sahutku.

Dalam hati aku berharap semua ini mimpi. Bahwa tidak mungkin Audy adalah adik dari Irene. Aku menyalahkan diriku sendiri, bagaimana mungkin aku tidak tahu hal itu?! Bahkan...seharusnya Irene memiliki foto...

Aku memang bodoh!!

"Baiklah, bagaimana kalau kita makan malam bersama?!" Tanya Irene seperti memberi pengumuman.

"Bagus itu."

Aku cuma mengangkat bahu.

***

"Kau bahagia sekali, kak." ledek Audy yang sedang duduk di ranjangku dan mengotak-atik barang-barang yang ada di sana.

Boneka-boneka yang di berikan oleh Lucky selama ini.

Aku duduk di meja rias dan memandang wajahku sendiri. Sadar sepenuhnya kalau wajah itu tegang karena terlalu banyak tersenyum. Aku terkekeh sendiri.

"Kakak kenal dia berapa lama?" Tanya Audy, memangku boneka panda berukuran jumbo.

"Sekitar satu tahun, kami pacaran empat bulan dan memutusakan untuk segera menikah," kataku.

Audy mendengus.

"Aku ikut seneng," katanya.

Aku tersenyum, "kamu juga harus segera menikah."

"Kuliahku belum selesai, aku pulang karena papa menyeretku dari asrama," gerutu Audy. Aku cuma tersenyum.

"Kamu memang harus pulang, bukankah sedang liburan semester dan kenapa kamu betah sekali di asrama."

Audy tidak menjawab.

"Apa jangan-jangan kamu punya pacar di sana."

"Ngaco." sengatnya kesal. Aku terkekeh.

"Aku tidak keberatan punya adik ipar pirang," selorohku lagi.

Audy tidak mengatakan apa-apa.

***

Aku menuruni anak tangga, aku haus dan di kamarku tidak ada minuman, terpaksa aku turun ke dapur. Rumah ini tidak ada yang berubah setelah dua tahun pergi. Aku bahkan tidak pulang saat liburan dan memilih menetap di asrama kampus.

Aku punya alasan, dan cuma aku yang berhak tahu alasan itu.

Langkah kakiku terhenti di tengah tangga. Aku melihat mereka berpelukan. Atau lebih tepatnya, pria itu yang memeluk kakakku.

Pria itu...

Aku tidak tahu kalau aku akan merasakan ini lagi. Dadaku sakit dan aku duduk di anak tangga, memegangi dada dan menahan jatuhnya air mata. Aku pikir, setelah semua hal yang aku lalui, aku akan melupakan perasaan ini.

Tapi...

Kedua sejoli itu tidak menyadari keberadaanku. Mereka jelas di mabuk cinta. Mereka akan menikah. Mereka saling mencintai. Aku tahu. Dan aku...

Tuhan... lakukan apa saja, buat aku melupakan semua ini.. buat aku amnesia... Atau mati juga tidak apa-apa...

***
Tbc

---
Nb : tolong jangan bingung dengan perubahan sudut pandang secara mendadak yah... 😊😊

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now