1 + 1 = ...

1.4K 67 0
                                    

**

Tahu angka satu?

Itu tuh, yang tegak lurus bak tiang bendera, tiang listrik dan segala macam yang berbentuk panjang dan tegak lurus.

Satu di tambah satu sama dengan dua.

Tapi, mari kita hilangkan kalimat "sama dengan"nya.

Jadi, satu di tambah satu...

Begini, 1 + 1

Berapa hasilnya.

Banyak yang mengatakan sebelas (11) atau masih ada yang keukeuh mengatakan itu dua (2).

Menurutku, satu di tambah satu tetap saja satu. Tidak ada tambahan apapun. Tidak ada hasil apapun.

Ah, ilmu matematika memang hanya untuk orang-orang jenius like Einstein misalkan.

Kalau aku sih, paling banter cuma bisa menghitung uang jajan dan harga kuota perbulan. Jajan ingin banyak tapi, harga kuota cari yang giga banyak namun murah.

Kalian juga kan?? Tidak usah munafik. Aku paham kok.

Aku mau bertanya, kalian pernah tidak merasa sendiri?

Seperti penggalan lirik lagu Dewa yang...

*Sorry, aku lupa judulnya*

Intinya, walau banyak orang di sekitar kita, namun tetap saja kita merasa sendirian.

Itulah yang aku rasakan saat ini. Aneh, karena sebenarnya di sini aku tidak sendirian.

Banyak kerabat dan saudara. Tapi, mereka cuma bisa menonton kesusahanku saja tanpa berniat membantu sedikitpun.

Jangankan membantu, menengok saja mereka tidak.

Di sini apa salahku?

Padahal biasanya aku selalu ada buat mereka. Walau bukan bantuan jenis materi, tapi, aku selalu bersedia jika mereka membutuhkan bantuanku.

Tapi, sekarang?!

Aku kesusahan seorang diri dan tak ada satupun yang datang membantuku.

Tentu saja hatiku sakit. Pake banget malah. Aku merasa mereka tidak peduli padaku. Well, mereka memang tidak peduli padaku.

Haruskah aku mendendam? Yeah, itu yang aku pikirkan.

Jika mereka kelak membutuhkan bantuanku, aku bersumpah tidak akan membantu mereka. Aku akan pura-pura buta dan tuli.

Lihat saja.

"Gimana rasanya? Capek?" Tanya seorang kerabatku dengan santainya.

Aku menatapnya datar. Kesal. Dia malah tersenyum. Tapi, aku sadar, jawaban 'iya' lah yang dia inginkan dan aku tidak akan memberikan itu walaupun memang itulah yang aku rasakan.

Jadi, aku menjawab...

"Gak, biasa aja. Cuma haus pake banget." kataku berusaha terlihat sesantai mungkin padahal dalam hati aku memendam rasa jengkel luar biasa.

"Iyalah, kamu enak. Sendirian, gak ada anak yang jadi pengganggu. Jadi bebas. Aku dulu meh ribet sama anak," katanya.

Aku mengutuknya dalam hati. Apa dia lupa? Bahwa aku yang membantunya saat dia kesulitan? Setiap dia melakukan kegiatan apapun, jika anaknya yang baru dua tahun itu malah mengganggu, aku akan mengajak anaknya itu.

Mendengar penuturan itu, aku melempar kulit kacang yang kebetulan sedang aku makan dengan geram.

"Hm, kacang ini busuk. Dia gak di lindungi apa yah sama kulitnya," kataku menyindir. Tapi, dia tidak sadar jika aku tengah menyindirnya. "Jadi inget peribahasa bagai kacang lupa kulitnya," kataku pelan, masih menyindir.

"Namanya juga kacang kemasan," sahutnya santai sama sekali tidak terganggu dengan sindiranku. Aku tersenyum dingin, tidak berminat menjawab ocehannya.

**

Hujan turun dengan sangat deras pagi ini. Membuatku kesal karena aku harus mengurusi rumah yang kebanjiran. Selalu seperti ini jika banjir.

Dan tentu saja aku sendirian.

Aku selalu sendirian.

Sedangkan orang-orang itu pasti tengah tidur nyenyak di kasur mereka.

Lagi, aku kembali mendendam. Awas saja, jika mereka minta bantuanku, aku akan pura-pura buta dan tuli. Aku tidak akan membantu mereka.

Lalu, kenapa selalu aku yang mendapat peran antagonis di cerita ini?

Di mana keadilan?! Aku cuma berniat menyalurkan rasa kesalku, tapi, bahkan sebelum niatan itu ku lakukan, perasaan bersalah malah mampir.

Kenapa aku begitu lemah?

"Ra, kamu gak mau sekolah?" Tanya Rena, tetanggaku. Aku memandangnya yang memang sudah siap berangkat.

Sedangkan aku malah masih sibuk mengurusi rumahku yang kebanjiran karena bocor di mana-mana.

"Gak tau, Ren. Ini aja masih berantakan," kataku. Rena memandangku.

"Yasudah, nanti aku ijinin ke Bu Ita," kata Rena. Aku mengangguk. Dia melambai sebelum beranjak pergi dengan ojek langganannya.

Aku juga ingin sekolah. Tapi, jika aku meninggalkan rumah dalam kondisi berantakan, sepulang sekolah aku akan tambah kelelahan.

Maafkan aku, Bu guru.

"Rumahnya bocor, Ra?" Tanya kerabatku itu sambil menggendong anaknya.

Aku menatapnya dengan ekspresi datar.

"Aku juga sih, bocor, tapi, gak seberapa."

Aku malas mendengarkan ocehannya yang tidak penting dan memilih melanjutkan kegiatanku.

Mungkin aku merasa sendirian. Seperti angka satu. Tegak lurus dan tidak memiliki lekukan sedikitpun.

Mungkin aku merasa tidak ada yang peduli padaku.

Tapi, aku sadar, apa yang aku lakukan saat ini merupakan 'bekal' untuk hidupku ke depannya.

Tuhan memang melakukan ini padaku agar aku tidak tumbuh menjadi anak cengeng dan manja.

Aku bisa melakukan semuanya sendirian. Tidak seperti mereka yang mengandalkan bantuan orang lain.

Akhirnya aku sadar, angka satu tidak seburuk itu.

Kalau tidak ada angka satu, tidak akan ada angka setelahnya.

Matematika tidak akan ada dan dunia akan kacau.

Bukankah di dunia ini mengenal rumus angka satu dan nol?

Apa kalian semua belajar linear yang cuma mengenal dua angka itu?

Ah. Aku mulai melantur.

Intinya, sekarang aku sadar, sendiri itu justru melatih kita agar lebih tangguh.

Aku akan mencoba menerimanya mulai saat ini.



End**

Kumpulan CerpenTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon