Sebuah Rasa

846 26 0
                                    

xxxxx

"Kau tau apa yang paling membuatku bahagia, Lia?" Tanya Andi dengan senyum mengembang lebar di wajah bundarnya yang kekanakan.

Lia menggeleng, "aku tidak tahu. Kamu mau memberitahuku?"

Andi masih mempertahankan senyumnya, "tentu saja, Dear."

"Nah, jadi apa itu?" Tanya Lia.

"Jawabannya adalah kamu, selalu kamu."

Jawaban Andi membuat Lia terdiam. Dia memaksakan sebuah senyum kecil karenanya. Mereka baru berkencan selama sebulan --ralat-- kurang dari sebulan. Lia terpaksa menerima Andi sebagai pacarnya karena merasa tidak enak dengan kebaikan cowok itu. Mereka adalah teman satu kelas di kampus. Dan beberapa teman mereka agak kurang setuju dengan hubungan itu. Bukan tanpa alasan, terutama sahabat Lia, Nurhayati. Gadis itu tahu siapa yang di inginkan Lia sebenarnya. Menerima Andi sama saja Lia membohongi semua orang termasuk dirinya sendiri.

Apalagi Andi di kenal sebagai cowok ceroboh, kikuk dan agak bodoh di kelas. Entahlah, yang jelas, Lia cuma merasa tidak enak jika menolak Andi.

"Kamu tahu kan kalau aku cinta banget sama kamu, Lia?" Tanya Andi.

Lia mengangguk, "aku tahu," katanya lirih.

Lia memaksa diri untuk memakan bakmi yang dia pesan di kantin demi menghindari obrolan dengan Andi yang selalu membuatnya merasa bersalah juga tidak nyaman itu. Nurhayati tidak duduk dengan Lia di kantin karena Andi. Lia tidak protes. Dia tidak bisa menyalahkan sahabatnya itu.

Saat pulang, Andi meminta Lia menunggunya di kelas terakhir karena dia harus ke ruang dosen dulu. Katanya ada keperluan yang entah apa. Lia mau saja menunggu Andi. Duduk diam di kelas. Sayangnya dia tidak sendirian. Ada orang lain di kelas itu. Dan orang itu...

Lia merasakan degupan jantungnya kian cepat saat melihat sosok Dayat yang menelungkup tidur, menyembunyikan wajahnya dengan lengan. Lia tidak puas-puas memandangi Dayat yang masih terus tertidur. Hingga cowok itu menggeliat dan bangun. Mata mereka bersirobok dan Lia sekali lagi merasa terhipnotis oleh kejernihan mata di balik kacamata persegi itu.

Dayat berdiri, "kamu gak pulang, Lia?" Tanyanya sambil beberes.

Lia menggeleng, "nunggu Andi."

Dayat tertegun kemudian memaksa sebuah senyum.

"Kalau gitu aku duluan, sampai jumpa, Lia."

Lia mengangguk, "sampai jumpa lagi, Dayat, hati-hati di jalan."

Dayat cuma memberi acungan jempol sambil beranjak meninggalkan kelas. Tanpa sekalipun menoleh, cowok itu terus pergi menjauh.

Lia menghela nafas, "Dayat..."

xxxxx

"Andi, aku rasa kita mesti bicara," cetus Lia saat Andi datang ke rumahnya di hari minggu. Mereka duduk dan mengobrol di teras rumah.

Andi mengangguk, "bicara apa? Kita selalu melakukannya kok," ujarnya geli.

Lia memutar matanya diam-diam, "aku mau jujur sama kamu."

Andi memasang wajah bingung.

"Seandainya aku tidak mencintai kamu, bagaimana, Ndi?"

"..."

Lia menghela nafas panjang. Kesunyian itu membuatnya makin sesak. Dia memang sudah tidak bisa meneruskan kebohongan ini lagi. Dia harus mengakhiri segalanya dengan cepat sebelum dia terjebak makin jauh.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now