KITA (2)

629 39 0
                                    

***

"Wow dekorasinya bagus yah?" Tanya Irene padaku.

Kami sedang mengunjungi gedung tempat kami menikah besok. Untuk memastikan segalanya lancar.

Mendapat tatapan menyelidik, aku cuma mengangguk dan mencubit pipi Irene, membuatnya mendengus dan kembali berjalan mengitari tempat. Dia memesan agar bunga lili di perbanyak daripada mawar. Alasannya sederhana. Audy suka bunga itu. Mengetahui hal itu entah kenapa membuatku merasa semakin berdosa.

Aku dan Audy...

Aku menoleh ke belakang, sejak tadi Audy berjalan dalam diam. Irene memang memaksa gadis itu ikut dengan kami. Irene jelas sangat menyayangi adiknya.

Audy balas memandangku.

Ada sejuta bayangan yang muncul dari masalalu...kami. aku harap hal itu tetap menjadi bayangan saja karena aku akan menikah dengan Irene. Gadis yang aku pilih dan aku cintai sampai saat ini. Mencoba mengingatkan bahwa Audy itu cuma masalalu yang tidak perlu di pikirkan lagi.

Tapi, aku juga masih ragu, apakah aku akan sanggup berhadapan dengan gadis itu di masa depan? Dia adalah adik kandung Irene, gadis yang besok akan menjadi istriku!!

Aku harus sanggup, kan? Walaupun, Audy adalah orang yang benar-benar membuat luka dalam di dasar hati.

Lupakan, Lucky!!

Irene menarik tanganku, "lihat ini, kamu suka kan?" Tanyanya menunjuk lampu-lampu kecil yang menghiasi pelaminan.

Aku tersenyum, "bagus."

Irene tersenyum dan beralih menggandeng Audy, "kamu suka?"

Audy mendengus, "ini kan bukan pestaku, kenapa tanya padaku?" Tanyanya ketus.

Tapi, Irene tidak memikirkan nada suara itu, dia malah tersenyum lebar, tak terpengaruh sama sekali dengan nada ketus Audy.

"Aku sengaja loh melakukan semua ini supaya kamu suka," ujar Irene. Sekarang dua gadis itu berjalan di depanku.

Sesekali Audy akan mengerling ke belakang, padaku, saat Irene terus saja mengoceh tanpa henti. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Jadi, aku cuma bisa membuang muka.

"Aku lapar," kata Audy mendadak, menyela cerocosan Irene yang tiada henti sejak tadi.

Irene mengangguk dan berbalik memandangku sambil tersenyum, "kita makan ke restoran cina yah? Aku udah janji pada Audy soalnya," katanya.

Aku memang tidak pernah bisa menolak permintaan Irene. Apalagi dia memamerkan ekspresi menggemaskan itu.

***

Aku menarik nafas panjang, aku merasa bersalah, memang. Tapi, karena aku merasa perlu meluruskan beberapa hal, terpaksa ini di lakukan. Aku mengajak Lucky bertemu setelah dia mengantarku dan Irene pulang. Diam-diam aku menghubungi pria itu.

Sekarang kami duduk bersebelahan di tempat yang penuh sejarah ini. Tempat yang dulu sering kami datangi. Cuma taman yang sudah sepi karena sudah larut malam. Dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya duduk diam memandang bulan yang bersinar terang malam ini.

Aku berdehem, "sejak awal aku tahu kalau Irene akan menikah denganmu. Saat dia menelpon dan bercerita tentangmu. Aku sudah menduga bahwa orang itu kamu," kataku lugas.

Lucky tidak bereaksi dan masih diam. Tapi, aku yakin dia mendengarkan.

"Kalau papa tidak menjemputku paksa, mungkin aku tidak akan pulang," kataku lagi.

Lucky menarik nafas, perlahan-lahan dia menoleh dan memandangku.

Mata itu masih sama seperti dulu. Tapi, ada satu perbedaan besar di sana. Di mata itu sudah tidak ada cinta yang dulu untukku.

Kumpulan CerpenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora