Dia, Suami Bibiku [3]

1.7K 87 5
                                    

**

"Ver, kenapa kamu memilih jalan ini saat bibi memberimu pilihan mudah?"

Aku cuma diam memandang wajahnya. Bibi memang baik, sangat baik malah. Dia tidak marah, padahal apa yang sudah aku lakukan ini benar-benar tidak termaafkan.

Lalu, apa aku harus tetap tinggal di sini dan semakin membuat suasana ini tidak nyaman?

Tuhan, aku tidak sanggup melakukan itu...

"Ver, kamu akan tinggal di mana?" Tanya bibi lagi.

Aku mencoba tersenyum walau itu sangat susah.

"Aku akan baik-baik saja, Bi..." Cuma itu yang bisa aku katakan.

Bibi memelukku erat dan menangis, aku juga tidak kuasa menahan air mataku.

Ini semua salahku. Jadi, aku harus menerima semua akibatnya. Tanpa melibatkan siapapun.

"Selamat tinggal, Bi... Jaga diri baik-baik dan sampaikan salam sayangku buat Putra..."

Aku cepat-cepat berpaling, menyembunyikan wajahku.

Aku tahu bibi juga merasakan apa yang aku rasakan. Tapi, aku tidak mau menggores luka semakin dalam untuknya. Aku harus pergi. Aku bahkan tidak berpamitan pada Adit. Aku pergi saat dia masih ada di tempat kerjanya, agar perpisahan ini terasa lebih mudah.

**

30 bulan kemudian...

"Ma ma ma ma...!!" Panggil Rendra, dia adalah putraku yang baru berusia dua tahun lebih, dia berlari-lari riang di sekitarku yang tengah memasak.

"Rendra, jangan, nanti kamu jatuh, sayang..." Tegurku. Tapi, Rendra terus berlarian dan menggunakan kakiku sebagai pegangan.

Aku menghela nafas dan membiarkan dia bermain selama aku memasak.

Aku tinggal di kontrakan sederhana dekat dengan tempat kerjaku, cuma sebuah toko roti kecil yang buka sampai malam, sebentar lagi aku harus berangkat kerja. Untungnya bos di sana tidak keberatan aku membawa Rendra.

"Sayang, makan dulu nanti kita berangkat," kataku, membungkuk di depan batita yang tengah tersenyum itu, memamerkan lesung pipinya.

Dia mirip sekali dengan ayahnya...

"Ketemu Om Danu?" Tanya Rendra. Aku mengangguk, "yey!!"

Danu adalah bos di tempat kerjaku, sekaligus pemilik toko roti itu. Dia baik sekali pada Rendra dan kadang mengajak bocah itu bercanda di waktu senggang, membuat Rendra tidak rewel minta pulang seperti batita pada umumnya jika di tempat asing.

Aku menuntun Rendra berjalan kaki menuju tempat kerja, Rendra mengoceh dan menunjuk banyak hal dan bertanya.

"Ma, itu apa?"

"Itu capung, sayang." aku menjawab dengan sabar. Rendra mengangguk lagi, begitu terus hingga kami sampai di tempat kerja.

"Rendra...?!"

"Om Danu!" Rendra melepaskan tanganku dan berlari menghambur ke pelukan Danu, pria itu sengaja jongkok dan merentangkan tangannya.

"Rendra udah makan?" Tanya Danu, sekarang Rendra dia gendong, Danu tersenyum padaku.

"Udah Om, tadi Mama macak ayam oyeng om, enak." coletah Rendra.

"Uuh pasti enak, kenapa Om tidak di kasih...?" Seloroh Danu, pria itu masuk toko sambil tetap menggendong Danu.

Aku tidak terlalu memperhatikan obrolan Danu dengan Rendra, aku harus ganti seragam dan mulai bekerja. Aku juga sudah tidak aneh lagi dengan tatapan para karyawan yang lain padaku.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang