Be Happy '2

882 60 4
                                    

****

Pak Michael membawaku ke taman kota. Tapi, kami tetap tinggal di dalam mobil.

Bodohnya aku masih menangis histeris. Aku menangis dan terus menangis.

Siapa yang akan tahan jika pernikahan yang selama ini kita jaga malah di rampas oleh orang lain di depan mata kita sendiri?!

Pak Michael menghela nafas beberapa kali, dia tidak mengatakan apapun. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya, karena posisiku sendiri menyandar di kaca mobil dan memandang keluar.

Aku...malu.

Entah sudah berapa banyak air mata yang aku keluarkan, rasanya aku sudah sangat lelah dan perlahan tangisku berhenti.

"Lebih baik?" Tanya pak Michael.

Aku menoleh, memandang pria itu, aku kaget karena dia terlihat sangat marah. Apa aku membuatnya marah?

"Maaf..." Dan entah kenapa air mataku kembali mengalir.

"Silahkan terus menangis sampai kamu puas, tapi setelah ini aku tidak mau kamu menangis di depanku karena pria lain!" katanya tajam.

Aku tergugu, menggigit bibir agar tidak histeris lagi. Pak Michael menggerutu.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku mencintai suamiku... tapi dia...dia..." Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.

"Kenapa kamu bertanya padaku apa yang harus di lakukan? Kalau aku memintamu berpisah dengannya, apa kamu akan lakukan itu?" Tanyanya sinis.

Kenapa dia kasar sekali? Apakah begini sikap seseorang yang seharusnya membantu meringankan beban perasaanku?!

Aku lupa, Pak Michael itu adalah orang arogan sombong dan kejam!!

"Maaf..." Aku menunduk.

Pak Michael tidak menjawab, tapi dari caranya menginjak pedal gas dengan tiba-tiba juga kasar, aku tahu bahwa dia marah. Dan akulah yang membuatnya marah.

Pak Michael mengantarku sampai rumah. Aku memandang rumah itu, di sana ada Rena yang biasanya akan menyambut kepulanganku dan Rama dengan riang hingga membuat rasa lelahku lenyap.

Lalu sekarang, apa yang akan aku katakan pada putriku tentang ini?

"Pulang dan istirahatlah, aku tidak akan mengatakan apapun. Semua keputusan ada di tanganmu," kata pak Michael.

Aku menatapnya, ragu. Dia benar. Keputusan ada di tanganku.

Aku keluar dari mobil dan buru-buru masuk ke dalam rumah. Rena sedang makan kue dengan riang. Kue yang aku beli kemarin lusa untuk ulang tahun pernikahan.

Dan di sebelah Rena ada Rama, pria itu tersenyum sendu dan membelai rambut putri kami selagi dia makan.

Aku berdehem.

"Mama! Sini Ma! Kata papa, aku gak apa-apa makan kue ini, bener kan Pa?" Cerocos Rena.

Aku tersenyum dan mengangguk, "makan yang banyak yah..." Aku memasang senyum.

Rama berdiri dan menghampiriku, reflek aku mundur.

"Kita bicara di kamar," bisikku.

Rama mengangguk, dia berpaling pada Rena yang masih sibuk makan, "sayang, terusin dulu yah, Papa sama Mama mau ngobrol dulu sebentar," kata Rama hangat.

Aku mendengus dalam hati. Selama ini dia sangat pandai bersandiwara rupanya. Padahal aku pikir dia benar-benar sayang padaku juga Rena.

Ternyata aku salah.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang