Our Story

587 33 0
                                    

----episode 2----

-----

"Kamu selalu tidak mau memakan bekal yang aku bawakan, kenapa sih?" Protes Ditha, sementara pria di depannya bersikap dingin seperti biasa, sibuk dengan pensil dan buku gambarnya.

Ditha menghela nafas dan duduk di depan pria yang sudah lama dia sukai itu, sudah berbagai macam cara dia lakukan untuk meluluhkan pria itu, tapi tidak pernah berhasil. Ditha tahu, bagi pria itu dia cuma anak kecil. Anak kecil manja. Tapi, sekarang dia sudah dua puluh satu tahun, bukan anak kecil lagi.

"Apa kamu tidak ada kelas hari ini?"

"Tidak," jawab Ditha cepat.

"Ditha, untuk yang kesekian kalinya..."

"Kak Domas yang harus mendengarkanku kali ini!" Sela Ditha panas.

Domas menghela nafas panjang, dia tidak tahu dengan cara apalagi meminta Ditha menjauh darinya. Menggunakan cara kasar juga tidak mungkin karena dia sahabat Azmi yang tak lain kakak Ditha.

"Ditha, kakak mohon, ini sudah cukup, oke? Kamu masih muda, banyak pria lebih baik dan lebih muda di luar sana."

Ditha menggeleng, "aku tidak peduli dengan mereka," dia berdiri dan memasang senyum andalannya, meletakan rantang makanan di depan Domas, "jangan lupa di makan, kak, nanti nangis loh makanannya."

Setelah mengatakan itu Ditha meninggalkan ruangan Domas.

Domas memandang rantang biru itu dengan sendu. Andai saja situasi dan keadaan tidak serumit ini. Dan andai saja hatinya tidak mati...

Tidak lama Azmi masuk begitu saja ke ruangan Domas dan duduk di kursi yang di tinggalkan Ditha beberapa saat lalu. Pria itu memandang rantang dan menghela nafas.

"Ditha?" Tanya Azmi jengah.

Domas mengangguk, dia tidak pernah bisa berbohong tentang masalah ini. Azmi jelas tahu kalau adiknya mengejar-ngejar sahabatnya. Tapi, Azmi tidak setuju jika kedua orang itu berhubungan. Bukan cuma karena perbedaan usia yang mencolok, juga karena status Domas...

"Sial, bisa saja kamu berbohong dan mengatakan kalau itu dari seorang gadis lain," sungut Azmi.

Domas tersenyum setengah hati, "mana mungkin aku berbohong tentang ini padamu?"

Mereka sama-sama diam, memandangi rantang di antara mereka.

"Oh, mau apa kamu mencariku sampai ke sini?" Tanya Domas kemudian.

"Aku baru saja bertemu dengan wanita menyebalkan itu, akhirnya dia setuju untuk merombak nilai kontraknya."

Domas mengangguk, "apa aku bilang, wanita itu cuma mau berdiskusi dengan pria tampan sepertimu."

Azmi mendengus, dia berdiri, "sudahlah, aku pergi, kamu makanlah itu, aku tidak mau tenaga Ditha untuk masak jadi sia-sia."

Domas menghela nafas panjang. Dia membuka rantang itu, isinya nasi, sosis goreng, beberapa butir anggur, brokoli juga wortel entah di masak apa oleh Ditha. Domas mulai makan, dia menggigit bibirnya, bukan karena rasanya yang tidak karuan, karena sebenarnya dia sudah lelah dengan semua ini, dia ingin menyerah bersiap dingin, tapi dia tahu kalau dia tidak bisa menyerah. Domas terus makan sampai semuanya tandas.

Domas kembali ke rumah, dia memandang foto di meja nakas dan tersenyum miris. Sudah lima tahun, selama itu dia masih saja tidak bisa melupakan kenangan itu. Seakan orang dalam foto menolak untuk di lupakan.

"Maafkan aku, Giska..."

Domas merebahkan dirinya. Giska memang sulit di lupakan, saat gadis itu meninggal, Domas merasa dunianya hancur, dia kehilangan orang yang sangat dia cintai dengan cara brutal dan terlalu mendadak, tepat dua hari sebelum mereka akan melangsungkan pernikahan. Dunianya menggelap, cuma Azmi yang ada di sampingnya, membantunya melupakan kenangan itu, menemaninya untuk bangkit memandang kehidupan. Dia berhutang banyak pada sahabatnya itu. Domas tidak tahu, jika tidak ada Azmi, mungkin dia sudah gila atau bunuh diri.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang