Di Antara Kita [1]

1.5K 84 5
                                    

**

"Kamu tahu dan paham apa yang tengah kita bahas ini, sialan?!" Bentak seorang gadis, dia sangat marah luar biasa saat pria yang duduk di hadapannya cuma diam membisu seperti patung saat dia berbicara panjang lebar.

Sang pria memandang gadis itu, mereka sebenarnya sudah akan menikah enam bulan lagi, di akhir tahun.

Kata banyak orang, saat pasangan akan menikah, mereka sering tegang hingga memicu pertengkaran yang tidak penting tapi justru bisa berakibat fatal.

"Iman!" Bentak gadis itu lagi, dia benar-benar sudah tidak tahan.

Iman menghela nafas dan memandang gadis yang sampai detik ini masih dia cintai. Sekarang dan selamanya.

Awalnya Iman menolak untuk bertemu dengan Sara, gadisnya. Hanya saja, karena di desak oleh calon istrinya itu, Iman akhirnya setuju.

Katanya Sara ingin membicarakan sesuatu.

Tapi, Iman sama sekali tidak percaya jika Sara justru mengungkit hal yang dia anggap sudah tidak penting. Masalalu. Purba.

Mantan pacar.

Seorang gadis dari masalalu Iman tiba-tiba datang dan menemui Sara, menceritakan segala hal yang pernah dia dan Iman lalui saat masih pacaran.

Tapi, bagi Iman itu benar-benar tidak penting. Sara lah gadis yang dia pilih untuk menemani hidupnya di dunia. Sara lah yang Iman inginkan untuk menjadi ibu dari anak-anaknya kelak, bukan gadis lain.

"Kamu mau aku jawab bagaimana, Sara?" Iman menyerah.

Sara mendengus, mengambil sesuatu dari dalam tas dan melemparkannya ke wajah Iman dengan amarah.

Dengan sabar Iman mengambil barang itu. Iman adalah pria yang sangat sabar, dia selalu menjadi pihak yang akan meminta maaf sekalipun dia tidak bersalah.

Iman adalah pria yang benar-benar sangat sempurna.

Iman membuka amplop putih panjang itu dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya.

Iman membaca isi kertas itu. Keningnya berkerut, kemudian dia memandang Sara yang masih menampakkan wajah penuh amarah.

Perlahan Iman melipat kertas itu dan meletakkannya di tengah meja di antara mereka. Dia tersenyum sendu.

Hanya saja Sara sedang marah dan tidak akan bisa luluh dengan senyuman Iman sekalipun.

"Dia memberimu ini?" Tanya Iman. Sara mendengus yang artinya adalah ya.

Iman menghela nafas dan meraih tangan Sara dan menggenggamnya, mengabaikan Sara yang meronta. Tatapan Iman tetap lembut meneduhkan, tapi cengkeramannya kuat sekali.

"Kita sudah kenal berapa tahun, Sara?" Tanya Iman lembut.

Sara berhenti memberontak, menatap mata pria yang ada di depannya. Selama ini dia tahu Iman tidak pernah berbohong padanya. Hanya saja, masalah ini sangat serius dan Sara tidak percaya begitu saja. Apalagi dengan adanya kertas itu.

"Sara, dia cuma mantan pacar, kami pacaran waktu SMA, sudah sepuluh tahun lalu, dan setelah itu kami jarang dan hampir tidak pernah komunikasi. Sedangkan kita? Kita bertemu di universitas dan aku mencintaimu hingga detik ini," kata Iman serius.

"Tapi, itu..."

"Sebuah kertas tidak bisa membuktikan apapun. Aku berani sumpah, aku bahkan tidak pernah intim dengannya," kata Iman frontal, Wajah Sara merah, dia menunduk, Iman menghela nafas, "maafkan aku, seharusnya kamu tidak pernah aku pertemukan dengannya," kata Iman lagi.

Kumpulan CerpenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora