Act. 2 Life Is Not a Movie

61.7K 6.6K 232
                                    

"Kapan kisah cinta gue bisa kayak di film favorit gue?" Aku memeluk bantal, sambil menatap nanar ke layar televisi, menatap iri Jude Law dan Cameron Diaz yang saling berpagut mesra di bawah guyuran salju.

"Here she goes again." Inge, teman sekaligus manajerku, membalas asal. Sudah cukup sering aku mengungkapkan hal yang sama di hadapannya, dan Inge terang-terangan mengaku bosan mendengar keluhan yang sama.

Kali ini, dia bahkan tidak menghiraukanku. Sejak tadi, dia menguasai tempat tidurku sambil membaca majalah, sementara aku drooling sendirian di depan TV. Di luar panas, tapi di dalam kamar ini, aku merasa kedinginan. Sedingin London saat winter, seperti yang kulihat di televisi. Bukan karena air conditioner, kurasa karena kesepian yang selama beberapa bulan terakhir ini sudah menjelma menjadi sahabat karibku.

"Are you crying?" teriak Inge.

"No, why?" elakku. Diam-diam, aku menyusut air mata yang mulai menggenang di sudut mataku.

Inge hanya akan mencak-mencak jika tahu kalau aku menangis lagi karena film yang sudah kutonton jutaan kali.

"Because it's hard for you to stop kalau lo sudah nangis. Gue enggak mau lo nangis semalaman ini, apa pun alasannya, karena besok pagi ada jadwal pemotretan di Bazaar." Inge merepet cepat.

"I know," tukasku.

Beruntung kali ini Inge tidak mendesakku. Sudah cukup sering aku membuatnya pusing karena menangis semalaman, dan besoknya penampilanku jadi amburadul. Untuk seseorang yang sangat mengandalkan wajah dalam bekerja, seharusnya aku lebih bisa mengontrol diriku.

But I can't. Ada saja hal yang membuatku meneteskan air mata.

Termasuk, setiap kali aku memikirkan kisah percintaanku yang sering gagal secara dramatis.

Aku menggeleng, langsung mengusir pemikiran itu jauh-jauh. Aku sudah berjalan sejaiuh ini, sudah meninggalkan Nicho jauh di belakangku. Toh, dia sudah menikah dengan Mel, dan perempuan itu tidak henti-hentinya pamer soal kemesraan mereka di Instagram. Hampir setiap menit, ada saja update yang dilakukan Mel, yang kadang membuatku mual.

Kalau kata Inge, 'she's trying too hard to let people know how happy they are.'

Masih kata Inge, seharusnya aku unfollow Mel.

But, she's my friend.

No, she was my friend. Dia sendiri yang memutuskan pertemanan denganku ketika menikah dengan Nicho, laki-laki pengecut yang sialnya pernah jadi mantan pacarku. Jadi, aku tidak punya kewajiban apa-apa untuk terus mengikuti Mel.

Namun, ada bagian kecil di hatiku yang membuatku selalu penasaran dengan Mel dan Nicho. Seakan-akan aku menunggu, kapan kepalsuan itu berakhir?

Derit pintu yang terbuka membuyarkan lamunanku, juga mencegahku untuk membuka Instagram dan menonton kemesraan apa lagi yang ditunjukkan Mel.

"Ada laki-laki ganteng di bawah."

Temanku yang lain, Sandra, ikut duduk di sampingku.

"Kakak gue? As you know, he's married. Again."

Sandra mendecak sebal. "Gue kenal kakak lo, dan meski gue masih kesal kenapa lo enggak pernah setuju gue ngedeketin dia, gue bisa terima kalau dia udah nikah. Bukan kakak lo yang gue lihat."

"Adiknya kalau gitu," sambar Inge, yang masih bertahan di kasurku.

"Oh please no. He's a baby," tukasku. Aku tidak habis pikir kenapa hampir semua temanku naksir kepada saudaraku? Aku bisa mengerti alasan mereka naksir Mas Rama, karena aku pun sangat mengaguminya. Tapi, tidak dengan Raka. He's still a baby.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now