Act. 24 The Way

45.2K 5.2K 321
                                    

Tanganku masih gemetar ketika aku menerima gelas yang disodorkan Arsya. Aku menenggak air putih dingin itu, membuat saraf-sarafku terbangun seketika.

Mataku memandang berkeliling. Ini rumahku, tidak akan ada seorang pun yang bisa menyakitiku di sini.

Ketika mataku bersirobok dengan Arsya, dia tidak berkata apa-apa. Hanya tatapannya yang tertuju kepadaku, menuntut penjelasan dariku. Namun, lidahku masih terasa kelu untuk memberi jawaban.

Ini bukan salahku. Aku tidak melakukan hal buruk yang membuatku layak diperlakukan serendah itu. Namun, harga diriku cukup terguncang, membuatku menyalahkan diri sendiri atas perlakuan yang menimpaku.

Aku kecewa, merasa dikhianati juga. Selama ini, aku menghormati Mas Pandu. Aku menaruh segan, karena tangan dinginnya turut berperan dalam perjalanan karierku. Aku tidak bisa menutup mata bahwa jasanya cukup banyak. Sedikitpun aku tidak menyangka kalua orang yang kusegani, malah berbalik mengkhianatiku.

"Aku tidak mendesakmu untuk bercerita, tapi kalau dengan diam membuatmu semakin tertekan, I'm all ears."

Aku tersenyum simpul menanggapi pernyataan Arsya. Perlahan, aku meletakkan gelas di meja dan melemparkan pandangan ke kolam di hadapanku.

"It would be nice kalau semua orang seperti kamu, ya. Baik, sopan, positif." Aku menghela napas. Hidup memang butuh keseimbangan. Ada yang seperti Arsya, ada juga yang seperti Mas Pandu.

Cih, aku tidak sudi memanggilnya Mas. Panggilan itu terlalu berharga untuk makhluk rendahan sepertinya.

Arsya bangkit berdiri dan pindah ke dekatku. Dia setengah bersila di sampingku, sehingga tubuhnya sepenuhnya menghadapku. Pelan, aku merasakan usapannya di punggungku.

Aku melirik tangannya yang disampirkan di pundakku, berharap sentuhannya bisa menghapus jejak-jejak yang ditinggalkan makhluk sialan itu.

Untuk seorang model aku tidak bisa menutup mata akan rentannya pekerjaanku. Setiap hari, ada saja model yang diperlakukan tidak adil. Bukan sekali dua kali aku mendengar berita negatif; pihak yang melakukan sexual harassment atau sengaja memanfaatkan kekuasaannya untuk memenuhi nafsu birahi.

"Waktu aku baru tiga bulan kerja di London, ada fotografer yang menawariku pekerjaan besar. As an aspiring model, that was huge chance for me. But I have to pay. He asked me to sleep with him." Aku tersenyum miris, mengingat salah satu momen paling kelam dalam hidupku. Tidak banyak yang tahu, termasuk keluargaku karena aku merasa mereka akan menyuruhku berhenti bekerja di bidang ini. Aku tidak tahu hal apa lagi yang bisa kulakukan, dan modeling hanya satu-satunya yang bisa kulakukan. "I was naïve but I know one thing, I don't want to sell myself. Aku diblok, kehilangan banyak kesempatan tapi aku enggak pernah menyesal. Aku juga pernah ditawari oleh seseorang yang katanya agen besar, untuk peran di serial TV di London. Lagi-lagi bayarannya aku harus menjual diriku ke produser yang penasaran bagaimana rasanya meniduri perempuan Asia."

Aku menghela napas panjang. Aku tidak berani menatap Arsya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Namun, dari pegangannya yang mengerat di pundakku membuatku bisa menebak reaksinya saat ini.

"Aku pulang ke Indonesia seperti seorang pecundang. It took time sampai akhirnya aku berani untuk mencoba lagi. I decide to fight, tapi malah dicemooh. Katanya aku terlalu naif dan sok suci. Aku cukup sadar kalau butuh waktu lebih lama untuk mengembangkan karierku dibanding mereka yang memilih jalan pintas. It's their choice, but not me." Perlahan, aku menolehkan wajah untuk menatap Arsya.

Matanya yang tajam terasa menusuk. Ada kilat marah di sana, dengan ekspresi tegang yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Tidak mudah untuk membuka kembali memori pahit yang berusaha kutahan seorang diri. Namun, kejadian hari ini meruntuhkan semua pertahananku.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now