Act. 35 Summer Breeze

31.5K 5.1K 238
                                    

Di hari ketiga, dokter akhirnya mengabarkan kalau Mama sudah bisa dipindahkan ke kamar inap. Beliau sudah sadar, tapi sangat lemah. Aku tidak yakin apakah dia menyadari kehadiranku atau tidak.

Aku tidak pernah menduga akan diperkenalkan Arsya kepada ibunya dalam kondisi seperti ini.

Selama tiga hari pula, aku berada di Bandung. Awalnya Arsya percaya kalau aku tidak ada pekerjaan, tapi pagi tadi, ketika aku menghampirinya di kamar inap, Arsya menatapku dengan curiga. Dia tahu aku berbohong.

Masalahnya, sekarang aku tidak bisa berbohong lagi.

Sudah ada dua acara yang kubatalkan, walaupun harus bertengkar dengan Inge. Namun, Inge juga tidak bisa memaksa karena acara itu tidak memberikan dampak apa-apa jika aku membatalkannya secara sepihak. Pagi tadi, Inge kembali mencecarku.

"Silakan kalau lo mau bayar kompensasi yang gue yakin enggak murah, sekaligus mencoret nama baik lo," tegasnya.

Walaupun sebenarnya aku masih ingin menemani Arsya di sini, tapi ada kehidupan profesional yang harus kujalani.

"Kenapa, Ran?"

Sambil bersandar ke pundaknya, aku menghela napas panjang. "Aku harus balik ke Jakarta. Besok aku berangkat ke Phuket untuk syuting iklan."

Arsya meraih tanganku dan menggenggamnya. "Kamu bisa nyetir sendiri? Aku enggak bisa nganterin balik ke Jakarta."

Aku mendongak untuk menatapnya, sama sekali tidak mempercayai apa yang baru saja kudengar. Dalam keadaan seperti ini, dia masih saja memikirkanku? Seharusnya dia tidak perlu mencemaskanku dan lebih memerhatikan keadaannya. Tentu saja aku tidak akan memaksanya untuk mengantarku kembali ke Jakarta. Dia jauh lebih dibutuhkan di sini.

Di hadapannya, aku mengangguk. "Aku balik siang ini, setelah Asti datang dan aku anterin kamu pulang."

"Jangan, nanti kamu kemalaman sampai di Jakarta. Asti pulang sore hari ini, ada kelas tambahan." Arsya membantah.

Aku kembali merebahkan kepalaku ke pundaknya. "Oke, tapi aku masih butuh waktu. Aku akan pergi tiga hari and I'm gonna miss you. So much."

Arsya tertawa pelan. Dia meremas tanganku yang berada di genggamannya. "Have fun."

"Aku mau kerja, bukannya bersenang-senang. Lagian, gimana aku bisa bersenang-senang kalau mikirin kamu di sini," bantahku.

Sekali lagi, Arsya hanya tertawa. "We'll see. Kamu mana bisa menahan diri kalau sudah melihat pantai."

**

Arsya benar. Meskipun tujuanku ke Phuket adalah untuk bekerja, tetap saja aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bersenang-senang saat berada di pantai. Mas Rama pernah bercanda dengan menyebutku keturunan putri duyung, karena merasa harus ke pantai setidaknya tiga bulan sekali. Dia pun sama, bedanya kalau aku lebih suka sunbathing, dia memilih diving.

Siapa pun pasti tidak bisa menolak kalau disuguhi pemandangan indah. Termasuk Inge, yang sepertinya sudah melupakan kekesalannya kepadaku dan sibuk menikmati matahari Phuket yang cerah. Hanya sore ini waktu yang kupunya untuk bersenang-senang, karena akan syuting sehari penuh selama dua hari ke depan. Aku pun tidak bisa pergi jauh-jauh, tapi menikmati pantai yang langsung terhubung dengan resort tempatku menginap rasanya sudah cukup.

Ini tahun kelima aku bekerjasama dengan Blue Lagoon, brand fashion asal Jepang. Kali ini mereka memilih Phuket sebagai lokasi untuk syuting iklan koleksi Spring/Summer tahun depan.

"So, Bali or Phuket?" tanya Mint, aktris Thailand yang juga terlibat di iklan yang sama denganku.

"Bali." Aku menjawab tegas. Aku sudah menikmati keindahan banyak pantai tropis, tetap belum ada yang mengalahkan Bali.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now