Act. 18 Home Sweet Home

50.7K 5.4K 239
                                    

Tinggal satu orang lagi, setelahnya aku bisa bebas dari kerumunan ini. Wajahku terasa sakit akibat memaksakan diri untuk terus tersenyum saat meladeni permintaan foto bareng. Walaupun lelah, aku tidak bisa menampakkannya, kalau tidak ingin melihat headline berita yang menyudutkan.

Saat ini aku berada di mall untuk acara nonton bareng. Masih dalam rangka promo film, yang membuatku harus berhadapan dengan banyak orang. Selama ini aku hanya kebagian peran kecil, sehingga bisa mangkir dari promo. Pun sebagai model, aku tidak pernah roadshow dari satu tempat ke tempat lain dan bertemu penggemar.

This is something new for me. Jujur saja, memasang senyum tanpa henti dan wajah ramah saat menyapa orang dalam jumlah banyak tidaklah mudah.

"Mau langsung balik, Mbak? Tanya Irma, ketika berjalan bersamaku keluar dari area bioskop.

Aku melirik jam tangan. Masih sore sebenarnya. Pulang ke rumah jelas merupakan opsi terbaik, mengingat aku sudah berkutat dengan pekerjaan sejak pagi.

Namun, mumpung sudah berada di Depok, aku malah kepikiran buat menghampiri Arsya di kampus.

"Kalian duluan, deh. Gue mau ke UI," sahutku.

Berbeda dengan Irma yang langsung menggodaku, Inge hanya memasang wajah datar.

"Besok gue jemput jam 7, ngejar siang ada interview di Oz," selak Inge.

Baru satu jam yang lalu dia memperingatkanku soal jadwal promosi di Bandung besok. Dia tidak perlu mengulangnya karena aku masih ingat.

Aku mengibaskan tangan di hadapannya. "Gue duluan, ya. See you tomorrow."

Segera saja aku memasuki mobil ketimbang lama-lama berurusan dengan Inge. Ada gunanya juga aku menyetir sendiri hari ini dan menolak tawaran Inge untuk menjemputku.

Di dalam mobil, aku mengeluarkan ponsel dan menelepon Arsya.

"Rani."

Aku suka caranya mengangkat telepon. Langsung memanggil nama, tidak perlu ada sapaan basa basi.

"Hi, aku lagi di Depok. Aku ke kampusmu, ya," sahutku.

"Aku sudah di jalan pulang."

Jawabannya berada di luar harapanku. Aku pun tidak bisa menahan diri untuk tidak mengeluh. Bukan salahnya, karena dia tidak tahu aku ada jadwal di Depok hari ini. Aku juga tidak tahu, sampai tadi pagi Inge memberitahuku Andy tidak bisa datan ke Depok karena flu, sehingga aku pun menggantikannya. Semuanya serba dadakan, sehingga aku tidak sempat menghubungi Arsya.

Sepertinya aku beneran harus langsung pulang.

"Kamu mau nyusul ke rumah?"

Refleks senyumku terkembang saat mendapat tawaran itu. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Boleh. Share alamatnya, ya."

"Oke."

Aku menutup telepon. Tidak lama, ada pesan masuk ke ponselku. Aku membuka alamat yang dikirimkan Arsya, dan langsung menuju ke sana.

**

Rumahnya berada di salah satu kompleks perumahan di Depok. Aku terpaksa harus memperlambat laju mobil agar bisa memperhatikan dengan jelas setiap nomor rumah. Bangunan di kompleks itu terlihat mirip, sehingga aku harus lebih teliti.

Saat mencapai ujung jalan, aku melihat sosok Arsya menunggu di teras. Aku pun membelokkan mobil memasuki pekarangannya, dibantu oleh Arsya yang menjadi tukang parkir dadakan.

"Nyasar enggak?" tanyanya saat aku turun dari mobil. Dia tidak hanya membantuku memarkir mobil, tapi juga membukakan pintu mobil untukku.

Aku menggeleng. "Nyasar di dalam kompleks, karena susah nyari nomornya," sahutku.

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang