Act. 6 Third Time's a Charm

44K 6.2K 332
                                    


Dari pantulan cermin di hadapanku, aku melihat Sandra keluar dari bilik toilet. Dia mengambil tempat di sampingku yang saat ini tengah mengecek penampilanku, menghilangkan minyak yang mulai bermunculan di wajah setelah beraktivitas sepanjang hari.

"Mau balik enggak? Gue bosan," ujarku setelah mengatupkan bibir, agar lipstik yang baru saja kupoleskan tercetak sempurna di bibirku. Aku suka lipstik merah, yang tampak kontras di kulit pucatku, dan membuatku terlihat lebih berani. Warna itu juga cocok dengan raut tegas wajahku, meski kata orang-orang membuatku terlihat lebih galak.

"Enggak enak, gue baru sampai." Sandra menolak. Dia membungkukkan badan mendekati cermin untuk mengecek bulu matanya.

"Lo, sih, ngaret."

"Bukan gue yang ngaret, acara ini aja yang on time." Sandra terkikik.

Sandra tidak sepenuhnya salah.

Saat ini aku berada di Pacific Place, menghadiri acara grand opening store harlan + holden yang baru saja dibuka. Sepanjang karierku, sudah tidak terhitung berapa kali aku menghadiri acara opening store, launching koleksi terbaru, atau sekadar temu kangen dengan si pemilik brand. Seringkali, acara tersebut berlangsung molor dari jam yang ditetapkan. Akibatnya, banyak rekanku yang memilih untuk datang melewati jam yang ditentukan. Serba salah, karena kesannya jadi main tunggu-tungguan.

Sejak baru mulai menjadi model, aku berusaha untuk tepat waktu. Aku ingat pesan Papa untuk tidak pernah memperlakukan orang lain dengan semena-mena, jika tidak ingin diperlakukan sama. Salah satu caranya dengan menghargai waktu. Walaupun dalam hal ini, aku seringkali tidak merasa dihargai karena orang lain tidak memiliki prinsip yang sama denganku.

Gelar Miss on time yang dilekatkan kepadaku seringkali diucapkan dengan nada meledek.

Namun, aku tidak mempermasalahkannya. Ini prinsipku, dan aku yakin prinsip itulah yang membuatku bertahan sejauh ini.

"Gue lapar, dan cuma ada canape," keluhku. "Lo yakin enggak mau makan sama gue?"

"Ray masih ada urusan sama Alex. Gue enggak enak ninggalin dia," sahut Sandra sambil menyinggung nama Ray, tunangannya.

"Ya udah, gue pamitan dulu deh sama Alex." Aku menegakkan tubuh dan membenarkan letak pakaianku. Hari ini aku mengenakan little black dress yang kupadukan dengan long coat dari harlan + holden. Plus, knee length boots yang membuat kakiku tampak semakin jenjang.

Aku sudah akan berbalik tapi urung ketika menyadari Sandra tengah menatapku serius dari balik pantulan cermin.

"Kenapa?" tanyaku.

"Lo tahu enggak salah satu pertanyaan paling sulit yang gue tahu?"

Keningku refleks berkerut ketika mendengar pertanyaan itu.

"Kenapa lo enggak pacaran aja sama Alex?" tudingnya.

Tubuhku menegang, membuatku merasa defensif saat mendengarkan pertanyaan itu terlontar dari mulut Sandra.

"Enggak usah pura-pura, gue yakin lo sadar kalau dia naksir lo."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Beda prinsip, makanya enggak bisa suka sama dia."

"Wait, prinsip apanya? I mean, he's drop dead gorgeous. Physically and financially."

Aku tidak menolak pernyataan itu. Aku pun mengakui kalau Alex memenuhi checklist yang sering dimiliki perempuan untuk memilih calon pendamping hidup idaman.

Alexander Soesanto. Aku sudah mengenalnya sejak lima tahun lalu. Dia memiliki perusahaan retail yang menangani distribusi brand internasional untuk pasar Indonesia. Usaha itu dibangunnya bersama kakaknya, dari nol, hingga kini mereka masuk jajaran pengusaha muda sukses. Terlebih Alex juga memiliki ketampanan yang mendukung, sehingga dia pun sering mendapatkan gelar the most eligible bachelor. Di usianya yang memasuki 40 tahun, Alex masih betah melajang. Kepadaku dia beralasan terlalu sibuk menghabiskan masa mudanya dengan membangun bisnis, sehingga lupa caranya membangun hubungan dengan lawan jenis.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now