Act. 46 Runaway

32.9K 5K 212
                                    

"Iya, Pak De. Saya usahakan. Jangan kasih tahu Mama."

Langkahku refleks terhenti saat tanpa sengaja mendengar ucapan Arsya. Dia tengah berada di balkon. Tadinya aku ingin mengejutkannya, tapi justru akulah yang dikejutkan.

Dia membelakangiku, sehingga tidak menyadari kehadiranku.

"Pokoknya saya usahakan."

Aku pikir masalahnya sudah selesai, tapi sepertinya masalah itu masih enggan untuk menjauh dari hidup Arsya. Apa pun yang sedang dibahasnya, aku yakin masih ada hubungannya dengan utang yang ditinggalkan ayahnya. Terlebih Arsya pernah bilang kalau si Pak De Pak De itu tidak menyukainya.

Arysa menutup telepon itu, tapi masih bergeming di tempatnya. Tanpa suara, aku berbalik dan kembali ke kamar, bertepatan dengan Arsya yang beranjak meninggalkan balkon. Aku meringkuk ke dalam bed cover, berpura-pura masih tidur agar dia tidak tahu kalau aku tidak sengaja mendengar pembicaraannya di telepon.

Aku mengerjapkan mata saat merasakan sisi kosong di sampingku ditempati. Wajah Arsya langsung menyambutku. Dia terlihat tenang, tapi aku bisa menangkap sendu di sorot matanya.

"Selamat siang."

Aku menyemburkan tawa. "Selamat pagi," ralatku.

"Satu jam lagi masuk jam makan siang." Arsya mengacak rambutku.

"Well, jarang-jarang aku punya hari kosong di tengah jadwal syuting," sahutku sambil menguap, membuat ucapanku tidak jelas terdengar. "Kamu mau ngapain hari ini?"

"Kamu?" Arsya balik bertanya.

"Tidur sampai sore. Hei, nanti malam kita bisa ke alun-alun dan makan di angkringan di Malioboro."

Arsya mengangguk. Dia menarik bed cover itu hingga menutupi tubuhku, lalu menepuk ringan punggungku. Setelahnya, dia pun ikut berbaring kembali di sampingku.

Dia tidak berbicara, hanya desahan napasnya saja yang terdengar berat. Aku beringsut mendekatinya, tapi Arsya merengkuhku ke dalam pelukannya. Dia memelukku dengan sangat erat, menenggelamkanku sepenuhnya ke dalam rengkuhannya.

Dari tubuhnya yang menegang, aku bisa merasakan dia tengah menyimpan sesuatu.

Aku menengadah untuk menatapnya. Arsya tengah menerawang, membuatku semakin meyakini kalau telepon tadi membawa malapetaka baru dalam hidupnya.

"Are you okay?" tanyaku. "Kamu ngelamunin apa?"

Setelah satu helaan napas panjang, Arsya baru menatapku. Dia menggelengkan kepalanya. Seperti yang sudah-sudah, Arsya memilih untuk menyembunyikannya dariku.

"Aku bisa jadi pendengar yang baik," tawarku.

"I know."

Namun, tidak ada cerita lebih lanjut yang keluar dari mulutnya. Hanya helaan napasnya saja yang semakin terdengar berat.

"Ran?" Arsya memanggilku, setelah bungkam cukup lama. "Setelah syuting ini selesai, kamu mau ikut kabur bersamaku?"

Aku tersentak, refleks merenggangkan pelukannya di tubuhku agar aku bisa menatapnya.

"Kabur?"

"Ke mana saja. Ke tempat yang eggak ada satu pun orang yang mengenal kita."

Aku tidak menyahut, hanya memerhatikan wajahnya yang mendadak sendu. Apa pun maksud ucapannya, entah dia serius atau itu hanya racauan, hanya mempertegas kalau dia tidak baik-baik saja.

"Oke. Kita bisa pindah ke manapun," sahutku akhirnya.

Arsya tertawa pelan. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya menatap nanar ke langit-langit kamar.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now