Act. 51 Shit Happens

35.8K 6K 353
                                    

"So, how are you?"

Aku memutar bola mata saat mendengar pertanyaan Sandra. "Bad."

Inge masih belum melepaskanku sepenuhnya. Menjadi manajer selama belasan tahun membuatnya terlalu identik denganku. Inge sengaja menyabotase beberapa pekerjaan yang ditawarkan untukku, ketika klien masih menghubunginya. Meskipun aku sudah membuat keputusan resmi soal berakhirnya kerjasama dengan Inge, masih ada beberapa pihak yang menghubungi Inge dan dia tidak menyampaikannya kepada Irma.

Sandra menepuk pundakku pelan. "Hang in there. Kalau kerjaan itu udah ditakdirin buat lo, enggak bakalan lepas.'

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Aku menyesap minumanku dan kembali fokus pada jajaran pakaian yang ditampilkan di hadapanku.

"Anyway, sejak tadi Pandu ngelihatin lo terus," bisik Sandra.

Tanpa diberitahu Sandra, aku sudah menyadarinya. Bahkan, sejak kedatanganku, aku bisa merasakan tatapan permusuhan yang sama sekali tidak disembunyikannya. Aku berusaha bersikap biasa saja, meskipun yang paling ingin kulakukan adalah menantangnya.

"He was angry. Sejak lo memblokir dia, banyak yang akhirnya ikut buka suara. Akibatnya beberapa brand juga turn him down."

Aku tertawa kecil. "Karma just bite him hard," timpalku, sambil melayangkan tatapan ke arah Pandu. Sebagai seorang fotografer sekaliber dia, menjadi fotografer untuk acara ini jelas sebuah downgrade baginya. Sekalipun peluncuran koleksi baru Michael Kors ini berskala internasional, dia biasa datang sebagai tamu, bukan sebagai fotografer.

Ini karma untuknya, dan aku tidak merasa bersalah sedikitpun sekalipun aku yang memulai perang itu.

"Setelah promo selesai, bakal balik ke London?"

"Maybe?" sahutku sambil balas bertanya.

Sandra menatapku lekat-lekat. Meski tanpa suara, aku bisa menangkap simpati yang diberikannya.

"You'll be good. But, don't forget my wedding. Lo masih utang bachelorette party buat gue."

"Tenang aja. Lagi gue siapin." Aku mengedipkan mata sebelum beralih ke koleksi berikutnya. "I like this one."

"Camel coat, lo banget, sih."

Setidaknya, pakaian-pakaian ini bisa menghiburku untuk sementara waktu. Sekaligus membuatku rehat sejenak dari hidupku yang harus ditata ulang setelah berpisah dari Inge. Untungnya Irma bisa diandalkan, dan dia langsung menyanggupi tawaranku untuk menggantikan Inge. Dia mungkin belum secakap Inge, tapi aku yakin seiring perjalanan waktu dia akan terbiasa dengan pekerjaan barunya.

Katanya, waktu bisa membuat jadi terbiasa. Namun, sampai saat ini, tidak peduli berapa lama waktu yang kubutuhkan, aku masih belum terbiasa tanpa kehadiran Arsya.

Perasaan ini sangat kubenci. Ketidakmampuanku menata hidupku untuk kembali seperti semula, seperti saat sebelum Arsya memasuki hidupku, membuatku merasa semakin tidak berdaya.

Setelah tidak ada lagi yang bisa kulakukan, aku memutuskan untuk pulang. Dengan terpaksa, aku menolak ajakan untuk after party, meskipun Sandra tidak henti-hentinya mengajakku. Dia akhirnya menyerah, setelah ajakannya kembali kumentahkan.

"Balik?"

Aku mengangguk. "I feel like an old lady who misses her bed so much. Kenapa gue enggak ada niat buat party lagi, ya?"

Sandra hanya terkekeh mendengar jawabanku. "Oke, see you. Gue enggak sabar buat launching brand kita."

"Untuk itu, Clara mau bantu. Dia barus resign dan jadi PR freelancer, kita klien pertamanya," sambutku.

[COMPLETE] Philosophy of LoveDär berättelser lever. Upptäck nu