Act. 10 Another Guy

47K 5.4K 145
                                    

"Abis taping, Alex ngajak ketemu." Inge mengedipkan sebelah matanya, sambil tersenyum simpul.

Sementara itu, aku hanya memutar bola mata. Sudah tidak terhitung berapa kali aku memperingatkan Inge bahwa tidak akan pernah terjalin hubungan serius antara aku dan Alex, tapi dia tidak pernah mendengarkanku. Dia masih saja percaya dengan bayangan fana kalau suatu hari nanti aku akan menjalin hubungan dengan Alex.

"Di mana?"

"Starbucks PI."

Aku mengembuskan napas lega ketika mengetahui lokasi yang dipilih Inge. Starbucks yang kasual lebih cocok, ketimbang restoran yang pretensius. Sepertinya Alex sedang ada urusan di PI, karena aku tidak yakin Starbucks adalah pilihan Inge. Dia selalu mengusulkan tempat yang lebih cocok untuk kencan ketimbang ngobrol sesama teman.

"Lo ikut?"

Inge menggeleng. "Gue drop lo aja, setelah itu gue ada janji nemenin nyokap ke dokter gigi."

"Kenapa enggak ngasih tahu dari awal? Tahu gitu gue bawa mobil."

Alih-alih menjawab, Inge hanya tersenyum penuh arti.

Hari ini, Inge menjemputku sehingga aku tidak membawa mobil. Sekarang aku baru paham mengapa dia ngotot ingin menjemputku, karena dia sudah terlanjur membuat janji dengan Alex. Dengan begini, dia punya alasan untuk meninggalkanku dengan Alex dan aku tidak punya alasan untuk menolak Alex untuk mengantarku pulang.

Aku ingin mengonfrontasinya, tapi urung karena sekarang jadwalnya taping. Untuk sementara, aku melupakan niat untuk menyerang Inge.

Saat di perjalanan menuju Plaza Indonesia, aku pun tidak bisa menyimpan uneg-unegku.

"Sekali lagi gue kasih tahu, gue dan Alex cuma teman."

"I know." Inge menyahut singkat, tapi dari cengiran di wajahnya aku yakin dia tidak menganggapku serius.

"Gue serius," tegasku.

"Ya ampun, Cali. Gue tahu lo enggak suka sama Alex."

"Tapi lo tetap berupaya biar gue pacaran dengannya," balasku.

"Because you look perfect together. Bukan cuma gue yang mikir kayak gitu. Dan juga, Alex itu suka sama lo. Sejak dulu dia sudah suka sama lo, tapi keduluan Nicho." Inge menjawab panjang lebar. "He told me ketika lo baru putus dari Nicho. He gives you time, tapi kayaknya sekarang sudah cukup ya waktu lo buat ngelupain Nicho."

"I tried, okay? Tapi enggak bisa."

"He's willing to change."

Aku mendengus. "Lo pikir gampang mengubah nilai yang seumur hidup lo pegang, cuma karena pengin ngedapetin perempuan yang lo suka?"

Inge tidak menyahut. Jika saat ini dia sedang tidak menyetir, dia pasti akan menatapku tajam sambil berkacak pinggang, siap menasihatiku dan memberitahuku bahwa pemikiranku salah.

"You can compromise."

"Ada hal yang bisa dikompromiin, dan ada yang enggak bisa. Lagipula, I'm thinking of someone else."

"What?"

Sekali lagi, aku beruntung Inge sedang menyetir sehingga dia tidak bisa membagi konsentrasinya. Dari umpatan yang keluar dari mulutnya, aku tahu dia menuntut penjelasan lebih banyak dariku. Namun, di hadapan kami Plaza Indonesia mulai terlihat. Inge tidak punya waktu untuk mendesakku lagi.

"Jadi, udahan ya ngejodohin gue sama Alex. Lagian, kalau menurut lo Alex itu worth to catch, kenapa enggak lo aja yang suka sama Alex?"

Detik itu, rasanya ingin menarik kembali ucapanku ketika aku melihat perubahan air muka Inge. Dia tidak lagi mengumpat, melainkan memasang wajah datar.

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang