Act 40. Mothers

31.8K 5.3K 337
                                    

Aku menepati janjiku untuk mengunjungi Mama, sehingga di hari terakhir keberadaanku di Bandung, aku berkendara ke rumah Arsya. Mama tampak kaget begitu melihatku.

"Mama sehat, kan?" tanyaku, seraya mengikuti ajakannya masuk ke rumah. Sepertinya Mama hanya sendirian saat ini.

"Sehat. Ini kamu lihat sendiri."

Well, she's a mother. Paling pantang terlihat sakit sehingga selalu menampakkan dirinya baik-baik saja.

"Asti mana, Ma?"

"Belum pulang, ada kelas tambahan," sahutnya. Mama mempersilakanku duduk di kursi tamu. Rasanya agak canggung, karena aku tidak ingin diperlakukan sebagai tamu di sini. "Kata Arsya kamu ada syuting di sini?"

Aku mengangguk. "Baru kelar siang tadi, makanya aku mampir ke sini. Mau numpang makan."

Mama hanya tertawa mendengar guyonanku. "Mau Mama bikinin sayur asam?"

Sekali lagi, aku kembali mengangguk. Kali ini lebih antusias.

"Mama lagi masak. Mau bantuin?"

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, sambil meringis menahan malu. "Aku cuma bisa masak frozen food dan manasin di microwave," sahutku.

Sekali lagi, Mama tergelak mendengar jawabanku. "Enggak apa-apa. Kamu ganti baju dulu. Mau pakai baju Asti atau bajunya Arsya? Baju Mama cuma ada daster."

"Kayaknya aku masih ninggalin baju, deh, di sini."

Sementara Mama menuju dapur, aku beranjak ke kamar Arsya. Seingatku aku masih meninggalkan bajuku di sini, saat beberapa kali menginap ketika Mama sakit. Aku membuka lemari Arsya, sedikit merasa tidak enak hati karena si pemilik tidak ada di sini.

Bajuku yang warna warni tampak begitu kontras di antara pakaian Arsya yang didominasi warna monokrom. Saat aku mengecek lemarinya pun tidak jauh beda dibanding yang aku lihat sekarang, kalau tidak hitam, ya putih. Sisanya dongker atau abu-abu. Kalaupun bermotif, palingan batik.

Inge pernah complain, katanya gaya Arsya membosankan. Kalau dibandingkan dengan laki-laki yang ada di dunia pekerjaanku, jelas Arsya terlihat biasa-biasa saja. Namun, gaya itu cocok untuknya.

Sederhana tapi hangat. Walaupun berbeda denganku, justru itulah yang membuatku menyayanginya.

Setelah berganti pakaian, aku menemui Mama di dapur. Aroma masakan yang wangi membuat perutku berbunyi, padahal belum jam makan.

"Jagungnya banyak banget," timpalku.

"Daripada kamu berebutan dengan Asti," sahut Mama.

"Kata Arsya, dia bisa sepintar itu karena sering makan sayur asam."

Mama tidak bisa menahan tawanya saat mendengar guyonanku. "Anak itu bisa aja. Dia kerjaannya cuma di kamar, belajar terus, enggak pernah main di luar. Ya enggak heran dia selalu juara kelas."

Satu lagi perbedaanku dan Arsya yang sangat mencolok.

Inge pernah berkomentar kalau suatu hari, perbedaan itulah yang akan membuatku sadar kalau Arsya bukan pria yang tepat untukku. Akan ada masanya aku merasa bosan dan jenuh, sementara dunia yang ditinggali Arsya tidak cocok untukku.

Ucapannya masuk akal. Namun, belakangan ini aku jauh merasa nyaman hanya diam di rumah daripada keluyuran enggak jelas. Masa penuh hura-hura itu sudah berakhir ketika aku menginjak kepala tiga. Ngeteh sore dengan Mama jelas lebih nyaman ketimbang party sampai pagi.

People change. Aku yakin, seiring dengan bertambahnya umur dan proses pendewasaan yang dialami, preferensi setiap orang berubah.

"Yuk, ini ditinggal aja." Mama menutup panci berisi sayur asam dan mengajakku keluar dari dapur. Padahal, sejak tadi aku tidak banyak membantu. Hanya melakukan apa yang disuruh Mama.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now