Act. 50 The Truth

32.7K 5.8K 776
                                    

"Inge ada, Bi?"

Sepagi ini, dan aku sudah berada di rumah Inge. Terlepas dari pertemanan selama belasan tahun, aku sangat jarang mengunjungi rumahnya. Inge menempati rumah ini semenjak ibunya menikah lagi, sebab rumahnya yang lama disita oleh bank ketika ayahnya dipenjara. Sekarang, Inge menempatinya sendiri karena orangtuanya pindah ke Singapura, negara asal ayah tirinya.

Bi Tin tampak gelagapan. Bukannya menjawab, beliau malah tampak gelisah.

Aku mendecakkan lidah. Bi Tin sudah bekerja di rumah ini sejak lama, sehingga sudah mengenalku. Beliau selalu mengikuti apa kata Inge, dan sepertinya sekarang Inge berpesan untuk tidak diganggu.

Aku melihat mobil Inge dari pintu garasi yang terbuka, jadi dia pasti ada di rumah.

"Dia di kamarnya?" cecarku, yang membuat Bi Tin semakin gelagapan.

Masih tidak mendapatkan jawaban, aku nekat menerobos masuk. Aku tidak mengindahkan panggilan Bi Tin yang melarangku menemui Inge. Untuk kali ini, aku sudah tidak peduli dengan sopan santun. Semalaman aku menyimpan emosi, dan Inge tidak akan menghalangiku untuk membuat perhitungan dengannya.

Kamar Inge terletak di lantai dua. Walaupun jarang ke sini, aku masih ingat di mana letaknya.

Aku membuka pintu kamar itu tanpa ada niat basa basi untuk mengetuknya. Namun, apa yang kutemukan malah membuatku mati kutu.

Inge tidak sendirian. Aku mendapati Alex berada di kamar itu, dengan kejantanannya yang berada di dalam mulut Inge, dan kedua tangan Inge yang terikat di tiang penyangga tempat tidurnya.

"Fuck." Bukan hal ini yang ingin kutemui di pagi buta seperti ini.

Alex langsung melepaskan dirinya dari Inge, gelagapan mencari pakaiannya. Namun, aku tidak peduli. Karena saat ini aku hanya bisa menatap Inge dengan ribuan perasaan berkecamuk di dadaku.

"Gue tunggu di luar."

Aku menutup pintu itu dan menuju ruang tamu di lantai satu. Aku memejamkan mata, berusaha menghilangkan bayangan Inge dan Alex dari benakku.

Tidak ada rasa untuk Alex, sehingga aku tidak peduli dia bercinta dengan siapa saja. Meskipun saat ini aku sangat marah kepada Inge, ada bagian kecil di hatiku yang justru kasihan kepadanya. Dia menyukai Alex. Entah apa yang diharapkannya dari perasaan sepihak itu, Alex hanya memanfaatkannya.

Bunyi langkah berat menuruni tangga menyentakku. Aku mendapati Alex dengan langkahnya yang lebar dan mantap mendekatiku.

"I can explain," burunya.

"I don't care," balasku.

"Cali, aku dan Inge tidak punya hubungan apa-apa. Kamu tahu, hanya kamu yang aku suka."

Aku tidak tahu terbuat dari apa hati laki-laki di hadapanku ini, sehingga dia bisa berkata seperti itu. Sementara belum sampai lima menit yang lalu aku melihatnya bercinta dengan perempuan lain, temanku sendiri.

"You bastard. Stop using her," bentakku.

"Aku enggak bermaksud memanfaatkan Inge. Aku enggak pernah memaksanya, dia melakukannya karena keinginannya." Alex terlihat begitu memuakkan saat berusaha membela dirinya.

"She likes you and you know it. Kamu hanya enggak mau membuang kesempatan, itu sama aja dengan manfaatin."

"Cali..."

Aku mengangkat tangan, membuat Alex berhenti bicara. "Kalaupun hanya ada kamu satu-satunya laki-laki di dunia ini, aku enggak akan pernah mencintaimu. Now, you should go. Aku ada urusan dengan Inge."

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now