Act. 33 Mother's Affair

36.6K 5.5K 207
                                    

"Biar aku yang parkir, kamu temuin Asti." Aku langsung keluar dari mobil tanpa menunggu jawaban Arsya. Dia pun sepertinya sedang tidak dalam keadaan ingin beradu urat dulu, dan langsung mengiyakan perkataanku.

Arsya ikut turun dari mobil dan berlari memasuki rumah sakit, sementara aku menggantikannya mencari tempat parkir. Entah apa yang terjadi di rumah sakit ini, karena aku cukup kesulitan mencari parkiran yang kosong.

Ini kali pertama aku ke rumah sakit ini, sehingga cukup kesulitan mencari arah. Yang aku tahu, ibunya Arsya ada di ICU saat ini. Beruntung satpam rumah sakit itu memberikan petunjuk yang jelas kepadaku.

Di ruang tunggu ICU, aku tidak melihat keberadaan Arsya. Tidak banyak orang di sana, sehingga seharusnya tidak sulit mencarinya. Di saat mataku mencari-cari, aku menangkap sesosok perempuan yang masih mengenakan seragam SMA. Dia duduk sendiri dengan gelisah, dan pandangannya tak pernah lepas dari pintu ruang ICU.

Aku menghampirinya agar bisa melihatnya lebih jelas. Walaupun ragu, aku memutuskan untuk menyapanya.

"Asti?" tanyaku.

Dia tersentak dan menoleh kepadaku. Perlahan, dia menganggukkan kepala. Namun, matanya tampak awas saat menatapku, dengan ekspresi penuh pertanyaan.

Aku tersenyum, merasa lega karena tebakanku benar. Aku menempati kursi kosong di dekatnya, menyisakan satu kursi sebagai jarak.

"Mas Arsya mana?" tanyaku.

"Lagi ketemu dokter."

Dalam diam, aku memperhatikan Asti. Dia tidak mirip dengan Arsya, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku langsung merasa dekat dengannya. Dia memiliki wajah lembut yang sama seperti Arsya, juga mata teduh yang kini bengkak dan merah. Sepertinya dia menangis selama menunggu di sini. Wajar dia ketakutan seperti ini.

Sewaktu mendapat kabar Papa kena serangan jantung, aku langsung panik. Untung ada Irma yang menenangkan dan mengantarku ke rumah sakit. Aku tidak bisa membayangkan betapa paniknya Asti saat menunggu di sini sendirian.

"Rani," ujarku dan mengulurkan tangan. "Aku ke sini bareng Mas Arsya."

Perlahan, Asti menyambut uluran tanganku. Entah dia mengenaliku atau tidak, ekspresi wajahnya tidak bisa dibaca.

"Asti," ujarnya pelan.

Aku sudah membuka mulut tapi urung begitu sosok Arsya keluar dari ruang ICU. Dia tampak jauh lebih lelah dibanding biasanya. Pundaknya yang biasanya tegak itu, kini terkulai lemah.

Rasanya ingin menghampirnya tapit atapannya saat ini hanya terpusat pada Asti.

"Gimana ceritanya?" tanya Arsya tegas. Dia mengambil tempat di seberang, tepat di hadapan Asti.

Sementara itu, Asti hanya menunduk. Dia bergerak gelisah, membuatku tidak tega melihatnya.

"Mama sudah enggak sadar waktu aku pulang sekolah," jawabnya pelan dan terbata-bata.

"Siapa yang bawa ke rumah sakit?"

"Om Imam dan Tante Sari."

Asti masih menjawab dengan suara gemetar. Dia tidak berani mengangkat wajah, entah apa yang membuatnya ketakutan seperti ini.

"Sejak kapan Mama sakit?"

Perlahan, Asti menggeleng.

"Ti, keadaan Mama separah itu enggak mungkin baru kejadian hari ini," balas Arsya tegas.

"Mama enggak bilang apa-apa. Cuma batuk aja, kadang sesak napas."

"Enggak dibawa ke dokter?"

Sekali lagi, Asti menggeleng. "Kata Mama mungkin cuma batuk biasa."

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now