Act. 49 The Secret

31.2K 5.8K 761
                                    

Di sampingku, Raka mengentakkan kakinya dengan tidak sabar. Sementara aku malah sengaja mengulur waktu tanpa melakukan apa-apa selain melihat pintu bercat biru di hadapanku.

"Kenapa setiap patah hati lo selalu ke sini?" tanyanya.

"Siapa yang patah hati?"

Aku melirik Raka, dan mendapatinya tengah menatapku dengan ekspresi malas. Dia masih kesal ketika aku membangunkannya pagi-pagi dan menyeretnya ke sini. Sepanjang jalan, Raka hanya menggerutu, menyesali keputusannya mengizinkanku menumpang di tempatnya semalam, hanya untuk dibangunkan pagi-pagi buta dan membawanya ke Notting Hill.

Pintu itu seperti magnet yang biasanya selalu berhasil mengatasi patah hatiku. Namun, tidak kali ini.

"Mbak, patah hati itu diobati dengan ketemu orang baru atau si penyebabnya. Bukan ngelihatin pintu ini."

"Says someone yang sudah dua tahun masih belum bisa move on."

Raka mendecakkan lidahnya kesal.

Aku mengalungkan tanganku di lehernya. Waktu kecil, aku sering mengusilinya sampai menangis. Raka yang sensitif sering mengeluh karena aku terlalu ribut. Namun, semenjak sama-sama pindah ke London, dia tidak lagi seperti adik kecilku yang suka merengek. Tanpa sadar aku malah mencari perlindungan padanya.

"You know what? You should go back."

"Yeah. Next week." Minggu depan, aku harus kembali ke Jakarta untuk keperluan promosi film.

"<aksud gue, balikan sama Mas Arsya."

Aku menghela napas panjang. Sampai saat ini, aku masih kehilangan jejaknya. Ditambah dengan penjelasan Alex, membuatku sedikitpun tidak bisa berhenti memikirkannya.

"Gimana mau balik, dia di mana aja gue enggak tahu," desahku.

"Lo enggak nyari."

"Mungkin dia memang enggak mau dicari."

Raka terkekeh. Dia melepaskan rangkulanku, dan sebagai gantinya dia yang merangkulku.

"Gue salut sama dia, sabar banget ngehadepin lo yang bawelnya minta ampun." Aku ikut tertawa mendengar ledekan Raka. "You never loved someone like that. Cepat atau lambat, gue yakin lo akan mencari dia lagi."

Aku merebahkan kepala ke pundak Raka. "Kalaupun gue mencarinya, tapi dia enggak mau dicari, ya percuma."

**

Nyatanya, aku memang mencarinya.

Aku menahan diri untuk tidak menyetir ke Depok dan mempermalukan diriku sendiri. Beruntung jadwal promosi lumayan padat, sehingga aku tidak punya waktu untuk mengurusi patah hatiku.

Namun, saat aku berada di Bandung, aku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Aku sengaja memperpanjang keberadaanku di Bandung. Jika Arsya tidak ingin berhubungan lagi denganku, aku bisa meemui Mama.

Setidaknya, beliau bisa memberiku penjelasan yang tidak bisa kudapatkan dari Arsya.

Aku mengetuk pintu, berharap dalam hati semoga bukan Arsya yang menyambutku.

Begitu pintu dibuka, sesosok wajah asing menyambutku. Bukan Mama atau Asti, dan yang pasti bukan Aline. Seorang remaja perempuan menyambutku, dengan tubuh setengah tersembunyi di balik pintu.

"Maaf, Bu Shinta ada?"

Remaja itu menatapku dengan dahi berkerut sebelum menggeleng.

"Kalau Asti?"

Kerutan di dahinya semakin dalam.

"Enggak ada yang namanya Asti. Mbak salah alamat mungkin."

Aku memandang berkeliling, mengecek keadaan. Tebakannya salah. Ini rumah Arsya. Walaupun sudah lama tidak ke sini, aku masih mengenalinya. Tidak mungkin aku salah alamat.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now