Act. 43 Party Gone Wrong

34.4K 5.4K 553
                                    

Tentu saja ada Alex. Aku yakin ini karena campur tangan Inge.

This is my party, jadi aku memasang wajah semringah ketika datang ke lokasi yang ditetapkan Sandra. Tidak banyak yang diundangnya, dan aku tahu Sandra cukup kewalahan memilih undangan. Aku hanya berpesan, undang yang dekat denganku. Masalahnya, aku tidak punya banyak teman baik di pekerjaanku.

Aku harus berterima kasih kepada Sandra kaena pilihannya tidaklah mengecewakan. Selain Sandra dan Ray, ada Irma dan Inge, serta Alex. Selain itu ada Andy, yang langsung memelukku hangat begitu kami bertemu. Juga ada Rena , Marcella, dan Stevie. Tiga orang model yang sudah lama kukenal meski aku pun tidak bisa mendefinisikan hubunganku dengan mereka sebagai teman baik. Namun, kamu sering bekerja sama sehingga cukup dekat.

Sedikitpun, aku tidak melepaskan peganganku di lengan Arsya. Aku hanya ignin memastikan agar dia tidak merasa cangung saat bertemu teman-temanku.

"Thanks," bisikku pada Sandra, yang duduk di sebelahku. Aku kembali memeluk pinggang Arsya sambil tertawa mendengarkan Andy dan Stevie yang sibuk membahas film pendek yang baru saja mereka tonton.

"Are you okay?" tanyaku pada Arsya. Sejak tadi, dia lebih sering diam. Hanya bicara kalau ditanya. Aku bisa maklum karena di depan orang asing, dia memang pemalu. Karena itulah, sejak tadi aku tidak pernah melepaskan pelukanku. Aku ingin memastikan kalau kehadirannya di sini jauh lebih penting dibanding teman-temanku.

Sekaligus memberitahu Inge agar berhenti menyodorkan Alex kepadaku. Juga Alex, agar dia paham kalau sudah tidak ada harapan untuknya.

"Lo ngajar bareng bokapnya Cali?" tanya Rena sambil menyesap minumannya.

"Awalnya. Papa udah pensiun," sahut Arsya

"Bokap lo enggak punya stok lain yang kayak gin? Buat gue." Rena terkekeh.

"Nope. Cuma ada satu," sahutku, sambil menepuk dada Arsya, yang disambut cibiran Rena.

"Jangan dikasih. Kasihan dosen pacaran sama Rena. Masa orang pintar pacaran sama cewek tulalit." Marcella menanggapi.

Rena hanya menicibir santai, meski Marcella meledeknya. Bagi yang belum mengenal Marcella, pasti akan merasa tersinggung karena dia sangat blak-blakan. Marcella tidak bermaksud kasar, dia hanya ignorance. Namun, seringkali ucapannya tidak di tempatnya. Bukan karena si pendengar yang terlalu sensitif, tapi memang Marcella seringkali terdengar menyerang.

Itulah yang membuatku kurang bisa dekat dengannya. Apalagi Marcella sangat suka ngomong, tapi dia tidak pernah sadar kalau ucapannya seringkali mengandung bisa.

Marcella selalu berkilah di balik 'kejujuran' yang selalu diagung-agungkannya.

"By the way, how much do they pay you? Gaji dosen enggak terlalu gede, kan, ya?"

See, Marcella kembali melempar bisa.

"Bukan urusan lo," timpalku. Aku sudah terbiasa dengan Marcella yang memang tidak mengenal filter itu, tapi tidak halnya dengan Arsya.

Lagipula, urusan pendapatan, itu sangat sensitif. Jangankan orang asing seperti Marcella dan Arsya, yang sudah kenal lama pun tidak bisa saling terbuka. Aku tidak bisa terang-terangan menyebut honor yang kuterima kepada Sandra, sekalipun kami terlibat di film yang sama. Itu bisa menimbulkan peperangan.

"Bukan gitu, maksud gue apa sama dengan penghasilan lo?" cecar Marcella.

"Ya bedalah."

Refleks aku melayangkan tatapan tidak suka kepada Inge yang duduk di seberangku. Sejak tadi dia hanya diam, jangan-jangan dia sengaja menunggu momen untuk menyetang Arsya.

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang