Act. 38 Conflicted

29.9K 5.6K 444
                                    

Rasanya perjalanan menuju Jakarta terasa begitu panjang. Terlebih selama perjalanan, suasana begitu mencekam dan hening. Arsya tidak berkata apa-apa. Tatapannya hanya tertuju pada jalanan di hadapannya, sementara aku di sampingnya hanya bisa diam-diam meliriknya sambil gigit jari. Ada banyak hal yang ingin kuungkapkan, tapi lidahku terlanjur kelu.

Sampai mobilku memasuki pekarangan rumah, tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya.

Aku turun dari mobil dengan perasaan campur aduk. Aku tahu Arsya marah, dan aku tidak ingin membiarkannya pergi dengan amarahnya. Namun, aku juga tidak tahu caranya memulai.

Arsya sudah menungguku di depan mobil. Aku melirik ransel yang tersampir di pundaknya, membuatku makin yakin dia sudah siap untuk pergi secepatnya.

I don't like silent treatment.

Arsya mengulurkan tangan untuk mengembalikan kunci mobilku. Aku menatap wajahnya dan kunci mobil itu berganti-gantian, sebelum melenggang melewatinya.

Aku tidak menerima kunci yang disodorkannya.

Saat akan membuka pintu, aku melirik ke arahnya. Arsya masih bergeming di tempatnya. Aku hanya bisa menghela napas panjang sebelum membuka pintu.

Pintu itu kubiarkan terbuka. Pilihan ada di tangannya, mengikutiku atau meninggalkanku.

Saat menaiki tangga, aku mendengar derap langkah di belakangku. Tanpa menoleh, aku tahu kalau Arsya mengikutiku.

Sama seperti tadi, aku pun meninggalkan pintu kamarku dalam keadaan terbuka. Aku melemparkan tas secara asal ke atas tempat tidur dan berbalik. Sambil bersedekap, aku menunggunya di tengah ruangan itu.

Arsya muncul tidak lama. Dia melirikku sekilas sebelum menuju ke rak TV dan meletakkan kunci mobil ke dalam bowl tempatku biasa menyimpan kunci mobil. Aku melihatnya menurunkan ransel dan meletakkannya di samping sofa, sebelum beranjak menghampiriku.

Setidaknya, dia memutuskan untuk tinggal.

"I'm sorry." Aku berujar pelan.

Arsya masih mengunci mulutnya rapat-rapat. Meski tatapannya tidak semenakutkan seperti saat di rumah sakit tadi, aku tetap tidak bisa merasa tenang.

"Sebelum kamu marah, let me explain this. Aku tahu aku lancang, mngkin kamu jadi tersinggung atau menganggapku terlalu involve dalam urusanmu. I admit it. Karena itu aku minta maaf." Aku berkata cepat. "Aku enggak ada niat untuk sok jadi pahlawan atau menganggap remeh kamu. I just want to help."

Aku memberanikan diri untuk menatap Arsya. Dia masih saja sama, tidak bisa kubaca.

"Kalau situasinya di balik. You would do the same without hesitation," sambungku.

Akhirnya, Arsya bereaksi. Tidak lagi bertingkah seperti patung. Dia melangkah pelan, mempersempit jarak di antara kami.

"I don't know what to do. Yes, I was angry tapi aku bukan marah kepadamu. Aku marah pada diriku sendiri dan situasi yang mengikatku saat ini." Dia berucap pelan. "Satu-satunya hal yang ingin kulakukan ketika tahu kamu membayar tagihan itu di belakangku, aku ingin melemparkan uang itu ke hadapanmu. But I can't, karena enggak ada juga yang bisa aku lemparin."

Ada nada getir di balik ucapannya, juga keputusasaan yang tidak bisa lagi disembunyikannya.

"Thank you," bisik Arsya pelan.

Perlahan, bibirku tertarik membentuk senyuman tipis. Namun, hatiku belum sepenuhnya tenang.

"Di satu sisi, kamu menyinggung egoku. Aku enggak nyangka dalam situasi seperti ini, aku masih punya ego itu. Di sisi lain, aku berterima kasih kamu memberikanku jalan keluar, di saat aku sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi." Arsya mengusap wajahnya.

[COMPLETE] Philosophy of LoveDove le storie prendono vita. Scoprilo ora