Act. 17 Past and Present

53.7K 5.1K 526
                                    

"Cantik banget, mau ke mana?"

"Kencan sama Papa."

Aku tidak bisa menahan tawa mendengar jawaban Mama. Kami berpapasan begitu aku sampai di rumah, sementara Mama sudah menunggu di teras. Mama tampak anggun dalam balutan terusan batik selutut yang dipakainya.

Kadang, aku sering bercanda bahwa Mama jauh lebih Jawa ketimbang Papa yang asli Yogyakarta. Hanya tampilannya saja yang bule, tapi kesehariannya tak jauh beda dari Eyang Putri. Padahal, awalnya Mama tidak dekat dengan Eyang Putri karena perbedaan bahasa. Namun, Mama mengalahkan kesulitan itu dengan belajar Bahasa Indonesia, dan setelah lancar beliau pun belajar Bahasa Jawa. Tidak sempurna memang, tapi patut diapresiai. Mama pun menjadi menantu kesayangan Eyang, meski awalnya banyak yang skeptis Eyang bisa menerima Mama. Eyangku itu masih kolot, dan beliau berharap Papa berjodoh dengan perempuan Jawa. Namun, Papa malah kecantol perempuan Inggris ketika kuliah di sana.

"Mau nonton filmku, ya?" tembakku.

Mama mengangguk, bersamaan dengan Papa yang muncul di pintu. Papa pun mengenakan batik yang sama dengan Mama, membuatku jadi gemas sendiri. Walaupun sudah menikah hampir 40 tahun, mereka enggak kalah menggemaskan dibanding remaja yang baru mengenal cinta monyet.

"Semalam aku ajakin enggak mau," rajukku.

"Mama, kan, mau movie date sama Papa," elak Mama.

Kata Mama, rahasia hubungan mereka masih awet sampai sekarang karena hal simple seperti ini. Sederhana tapi selalu mengingatkan kepada awal mula mereka saling jatuh cinta dulu. How sweet they are.

"Sya, buku yang kamu mau ada di perpustakaan. Pakai aja, enggak usah dibalikin."

Arsya mengangguk mendengarkan ucapan Papa.

"Ambil yang banyak, biar kepake dari pada berdebu disimpan di perpustakaan." Aku mengompori, yang disambut Papa jitakan pelan di kepalaku.

"Mama enggak masak. Nanti kalau lapar, kalian pesan aja." Mama memperingatkan. "Baik-baik di rumah."

"Bye lovebird."

Aku masih bergeming di teras sampai mobil yang dikendarai kedua orangtuaku menghilang dari pandangan.

Sepeninggal mereka, aku menggandeng lengan Arsya dan mengajaknya masuk ke rumah. Aku masih ingat apa yang dilakukannya di parkiran tadi. Jangan harap aku akan melepaskannya begitu saja.

"Sebentar, ya," bisik Arsya. Dia melepaskan genggamanku dan berlalu menuju perpustakaan.

Aku pun menyusulnya. Sesampainya di perpustakaan, dia malah sibuk dengan buku yang tadi disinggung Papa. Padahal, sebelumnya justru dia yang sangat bersemangat membawaku pulang, tapi sekarang malah mengabaikanku.

Aku menyelinap di sampingnya, tapi Arsya hanya menoleh sekilas sebelum kembali meneliti buku-buku itu.

"Kamu hanya punya waktu lima menit. If you still want me," bisikku dan mengedipkan sebelah mata. Aku menepuk pundaknya pelan dan meninggalkannya.

Namun, baru sampai di pintu, aku merasakan ada yang menarikku. Arsya memelukku dari belakang dan menenggelamkan wajahnya di leherku.

"Aku pikir kamu masih mau bersama buku-buku itu."

"Aku cuma mau memeriksanya sebentar, tapi kamu malah enggak sabaran," ledeknya.

Sambil terus memelukku, Arsya membawaku keluar dari perpustakaan. Aku pun tidak melepaskannya, sembari membimbingnya menuju kamarku yang terletak di lantai dua. Walaupun agak sulit menaiki tangga dengan berpelukan seperti itu, dan Arsya yang menciumi leherku, membuatku bertumpu kepadanya ketika menaiki tangga.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now