Act. 41 Set Up the Future

29.2K 5.4K 331
                                    

"Got you!" Aku memeluk tubuh Arsya dari belakang. Aku mendapatinya tengah berdiri menatap jendela ketika aku keluar dari kamar mandi.

Arsya menoleh ke balik pundaknya. Tanpa suara, dia meraih tanganku dan membawaku hingga berada di depannya. Sekarang, dialah yang memeluk pinggangku dengan sangat erat.

"Wangi," gumamnya. Arsya menenggelamkan wajahnya di lekukan leherku, sehingga embusan napasnya yang menyentuh kulit membuatku bergidik. Aku memejamkan mata, sementara Arsya terus mengecup leherku.

Aku tersentak ketika merasakan tubuhku didorong. Detik selanjutnya, aku mendapati Arsya menudungiku, setelah dia membaringkanku di window seat.

"Miss me, huh?" tanyaku. Aku menarikan jariku di dadanya, merasakan otot-ototnya yang liat di bawah sentuhanku.

Arsya tidak menjawab. Namun, tindakannya sudah cukup untuk mengonfirmasi pertanyaanku barusan.

Dengan tubuh Arsya yang berada di atasku, aku merasa begitu kecil. Sekaligus terlindungi. Di balik wajahnya yang selalu menampakkan senyum itu, aku bisa merasakan kehadirannya yang begitu mendominasi.

Hanya di hadapannya, aku rela menyerah seperti ini.

Arsya mengangkat tubuhnya, sehingga memberiku ruang untuk bernapas. Sudah tidak terhitung berapa kali aku menghabiskan waktu bersamanya, rasanya tubuhku belum bisa imun terhadapnya. Selalu saja ada debaran di jantungku, sekaligus semu merah di wajahku, setiap kali dia menatapku dengan intens.

Aku menyambut tangan Arsya yang terulur dan mengangkat tubuhku. Namun, Arsya kembali menarikku ke pelukannya. Window seat itu jadi kian sempit saat Arsya mengajakku berbaring di sana. Dia terpaksa berbaring menyamping, sementara aku menumpukan tubuhku di atasnya.

"Ngomong-ngomong, dua minggu lagi ulang tahunku," ujarku, sambil menyusuri dadanya dengan telunjukku. Aku membuka beberapa kancing kemejanya dan menyusupkan tanganku ke baliknya, merasakan kehangatan kulitnya saat menyentuh telapak tanganku. "I bet you know soal birthday lunch di sini. I want you to come."

"I'm not your family." Arsya terkekeh.

"But, you're special. Aku mau kamu ikut."

Arsya pun menganggukkan kepalanya.

"Sandra sudah bikin rencana makan malam buat ngerayain. Aku juga mau kamu menemaniku," pintaku lagi.

Kali ini, Arsya menatapku dengan dahi berkerut. "No party?"

Aku mencibir. "Sudah terlalu tua untuk ngadain birthday party," sahutku.

"Jadi, kamu mau kado apa?"

Aku menggeleng. "Tahun ini, aku menolak dikasih kado. Paling dapat baju atau sepatu lagi, enggak pernah ada yang kreatif soal kado."

Itu hanya alasan. Sebenarnya aku menolak kado karena Arsya. Dia juga alasanku mengiyakan keinginan Sandra untuk membuat makan malam, karena biasanya aku selalu dapat surprise party dari pacarku. Dari tahun ke tahun, pesta itu semakin tidak terkendali. Pacarku saat itu menjadikan momen ulang tahunku sebagai arena persaingan, sehingga pesta tahun ini harus lebih meriah dibanding pesta sebelumnya.

Jujur saja, aku tidak menikmatinya. Pesta itu bukan untukku, tapi hanya untuk memuaskan ego pria yang saat itu menjadi pacarku. Aku hanya objek yang dipamerkan di pesta yang mengatasnamakan diriku.

Pun dengan kado. Di lingkunganku, persaingan itu bisa terjadi dalam semua hal. Dan, semua dinilai dengan materi. Tidak ada kado yang tulus, karena saat memilih kado, yang dipikirkan adalah mengalahkan kado orang lain, juga harapan ketika tiba giliran mereka yang ulang tahun, kado yang didapat harus bernilai sama.

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang