Act. 4 Someone Who Look at You

47.2K 6.5K 182
                                    

"Papa bareng Om Burhan aja, kalau kamu mau pergi."

Aku menggeleng. "Aku hari ini kosong, jadi bisa nemenin Papa ke mana aja."

Papa hanya tertawa kecil, dan aku tahu dia sama sekali tidak keberatan. Tawaran itu hanya basa basi belaka.

Setelah seminar, Papa diajak makan siang oleh dosen lainnya. Papa yang tadinya mau pulang setelah seminar, jadi enggan. Aku mengerti keengganannya. Sejak pensiun, aktivitasnya berkurang. Sebagai seseorang yang sangat aktif, ini perubahan besar bagi Papa. Tidak mudah untuk menerima perubahan besar itu. Bisa-bisa, Papa malah memendam perasaannya dan itu akan berakibat buruk kepada kesehatannya. Meskipun Mama sering mengeluh karena Papa yang mencari kesibukan baru, dalam hatinya Mama paham kalau Papa membutuhkan kesibukan itu.

Begitupun siang ini. Papa pasti merindukan saat-saat ini dia bisa berdiskusi dengan dosen lainnya. Ketika melihat Papa bercengkrama dengan mahasiswanya, aku bisa menangkap kerinduan itu dari sorot matanya. Mungkin dia masih merasa mampu, dan kampus ini pun masih membutuhkannya, tapi usia tidak bisa berbohong. Langkah Papa tidak setangkas dan setegap dulu, dan keterbatasan yang ditimbulkan oleh usia yang menua itu seringkali membuatnya frustrasi.

Jadi, tidak ada salahnya membiarkan Papa makan siang dengan teman-temannya. Meski aku harus terjebak dalam obrolan orangtua.

Well, sepertinya bukan hanya aku saja yang terjebak dalam obrolan orangtua. Ketika memarkir mobil di parkiran restoran, aku melihat Arsya turun dari mobil kampus yang dikendarainya. Dosen-dosen tua itu langsung mengajaknya, meski aku yakin alasan dia diajak karena mereka butuh sopir.

Aku tertawa pelan. Di mana-mana senioritas selalu ada.

"Siang, Pak."

Aku sedang mengunci pintu mobil ketika seorang perempuan turun dari mobil di sampingku. Dia langsung menghampiri Papa dan menyalaminya.

"Apa kabar, Ina?"

"Baik, Pak. Tadi mau mampir ke auditorium, tapi ada jadwal bimbingan sama mahasiswa saya. Makanya nyusul ke sini." Perempuan itu menyadari kehadiranku. Dia mengangguk dan tersenyum sopan.

"Baguslah ada kamu. Biar anak saya ada teman dan enggak bosan dengerin obrolan orangtua." Papa terkekeh sambil menepuk pundakku.

"Calista," ujarku, mendahului perempuan itu dan memperkenalkan diri.

"Ina. Saya dulu mahasiswanya Bapak."

"Ngajar juga?"

Ina mengangguk. Aku meliriknya, berusaha untuk tidak terlalu kentara. Dia tampak seusia denganku, atau sedikit lebih tua. Dia memiliki rambut panjang hitam yang dipotong sebahu. Wajahnya bulat dengan kecantikan khas Indonesia. Dia manis, pasti dia salah satu dosen favorit di sini.

Ngomong-ngomong dosen favorit, aku yakin Arsya juga menyandang gelar itu.

Dia menunggu Papa di pintu masuk restoran. Mereka memilih restoran Sunda di daerah Depok sebagai tempat makan siang. Restoran itu terlihat asri, dengan kolam ikan di sekelilingnya. Membuatku lupa untuk sesaat kalau saat ini aku ada di Depok yang seringkali sumpek.

Arsya melemparkan senyumnya kepadaku, sebelum mendahuluiku memasuki restoran itu bersama Papa. Aku dan Ina mengikutinya menuju saung yang terpisah dari bangunan utama. Di sana, sudah menunggu teman-teman Papa. Entah apa yang mereka tertawakan, karena suara tawa itu terdengar begitu keras. Papa yang baru bergabung pun langsung tertawa setelah mendapat penjelasan.

Selama makan siang, aku merasa awkward berada di tengah perbincangan yang tidak kupahami. Diam-diam aku melirik Arsya yang duduk di ujung meja. Dia hanya tertawa seadanya, membuatku yakin kalau dia pun merasa sama canggungnya denganku.

[COMPLETE] Philosophy of LoveOnde as histórias ganham vida. Descobre agora