Act. 21 Unbelievably Cute

42.7K 5K 218
                                    

"Sore, Mbak."

Aku melirik jam di ponsel. Baru lima menit lewat dari pukul satu. "Ini masih siang, Papa."

Papa hanya tertawa meledekku. Sepertinya aku benar-benar membayar utang tidur selama beberapa hari terakhir, sehingga baru bangun di jam segini. Aku seperti orang mati, dan baru terbangun karena perutku lapar.

Aku mendudukkan tubuhku di samping Arsya. Dia hanya melirikku sekilas, lalu kembali fokus ke laptopnya. Hal terakhir yang aku ingat, dia menggendongku sampai ke kamar. Samar-samar aku ingat dia bilang akan tidur di kamar Raka, setelahnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Saking teparnya, aku bahkan tidur pakai celana jeans.

Berbanding terbalik denganku yang masih memakai baju yang semalam kupakai tidur, Arsya sudah dalam keadaan rapi. Wajahnya yang biasanya polos, kini mulai ditumbuhi rambut-rambut yang membuatnya sedikit rebel tapi tetap hangat.

Aku melirik ke laptop itu, dan tidak ada satu pun yang aku pahami.

"Nanti, kalau Papa di London, Arsya bakal sering-sering ke sini?"

Papa mengangkat wajah dari buku yang dibacanya dan tersenyum mengejek. "Itu, sih, kamu yang mau."

Aku hanya tertawa lebar sambil mengangguk, sementara Arsya hanya melirik sekilas dengan senyum tertahan.

"Ya ampun, Mbak. Sudahlah bangun jam segini, bukannya langsung mandi." Mama mencecarku. Dia menatapku dengan wajah mengkerut. Bagi Mama, bangun siang adalah kesalahan fatal. Tidak mandi begitu bangun tidur juga kesalahan. Jadi, saat ini aku melakukan kesalahan double.

"Laper, Mama," sahutku.

"Kalau lapar, ya makan. Ngapain di sini?"

"Lagi disiapin sama Bibi," balasku.

Mama hanya menggelengkan kepalanya. Walaupun sejak kecil ada Bibi di rumah, Mama paling tidak suka jika aku meminta Bibi menyiapkan hal sepele. Seperti makan siangku, karena aku bisa menyiapkan makan siangku sendiri. Namun, siang ini aku ingin ada sedikit saja pengecualian.

Jadi, aku hanya bisa memasang wajah memelas di hadapan Mama.

"Mbak, mau makan di sini atau di meja makan?" Tanya Bibi.

"Sini aja, Bi." Aku mengulurkan tangan mengambil piring yang diberikan Bibi.

Sekali lagi, Mama hanya bisa menggelengkan kepala, menunjukkan keberatannya, tapi tidak kuhiraukan. Lagipula, aku ingin menggodaya. Mama akan tinggal di London selama sebulan. Aku pasti akan kangen setengah mati jadi aku sengaja berulah agar Mama mencerewetiku.

Kalau saja aku tidak ada pekerjaan, sepertinya aku akan ikut ke London. Sudah terlalu lama aku tinggal di Jakarta, jujur saja aku merindukan suasana muram London.

Aku menyendok suapan terakhir sebelum meletakkan piring di atas meja. Usai menenggak minum, tidak sengaja aku bersendawa dengan sangat keras.

"Ups, sorry."

Ketiga pasang mata itu menatapku. Papa hanya tertawa geli, begitu juga dengan Arsya. Hanya Mama yang keberatan.

"Mbak, enggak sopan," tegur Mama.

Aku hanya bisa menyengir lebar. Tidak ingin membuat Mama semakin murka, aku mengambil piring kotor dan membawanya ke dapur. Sepertinya aku harus mandi, sebelum Mama menyeretku ke kamar mandi.

**

Aku menuruni tangga sambil bersiur. Hatiku terasa ringan, mungkin karena akhir pekan ini aku benar-benar kosong. Sudah lama aku tidak memiliki waktu kosong selama weekend.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now