Act. 34 Secret

35.8K 5.4K 165
                                    

Arsya tidak menydari kehadiranku, bahkan sampai saat aku duduk di sampingnya. Dia menengadah, dengan mata tertutup. Entah dia benar-benar tertidur, atau tubuhnya terlalu lelah sehingga mencoba untuk tidur di kursi rumah sakit yang sangat tidak nyaman ini.

Dia tampak tidak pada tempatnya dengan selimut pink itu. Gurat lelah di wajahnya tidak bisa ditutupi. Semalam, dia pasti tidak bisa tidur. Perpaduan rasa cemas karena memikirkan kondisi ibunya, juga kursi yang tidak nyaman ini, jelas bukan momen yang pas untuk tidur.

Aku menyibakkan selimut itu dan memasukkan tanganku ke baliknya. Ketika aku menggenggam tangannya, Arsya tersentak. Dia langsung menoleh ke arahku.

"Rani. Sejak kapan kamu di sini?"

"Barusan." Sedikit berbohong tentu bukan masalah. Arsya tidak perlu tahu kalau aku sudah berada di sini hampir setengah jam.

Di balik selimut, Arsya membalas genggaman tanganku.

"Mama gimana?"

"Better. Dokter sudah ambil tindakan mengeluarkan cairan dari paru-parunya. Tapi masih harus dirawat di ICU sehari dua hari. Tergantung keadaannya." Arsya menjawab panjang lebar.

Butuh sekian detik untuk mencerna penjelasannya. "Parah?"

Arsya mengangguk. "Mama punya riwayat sakit ginjal. Jadi itu yang membuat penumpukan cairan di paru-parunya. Makanya dia batuk enggak sembuh-sembuh. Dari dulu seperti itu, selalu menggampangkan keadaannya."

Entah mengapa aku justru merasa Arsya tengah membicarakan diri sendiri. Menggampangkan keadaan dirinya sendiri, itu cocok untuknya.

"Kenapa kamu enggak pulang aja? Biar aku yang jagain Mama di sini," tawarku.

Perlahan, Arsya menggelengkan kepalanya. "Enggak apa-apa. Aku baik-baik saja."

Tebakanku benar. Dia menggampangkan keadaannya sendiri, padahal apa yang aku lihat justru sebaliknya. Aku tidak yakin dia sanggup berjalan sendiri.

"Kalau nanti Asti datang, aku antar kamu pulang. Tinggalin pesan ke dokter, jadi kalau ada apa-apa, mereka bisa menelepon kamu. Tidur dua jam saja cukup," tegasku.

Arsya sudah membuka mulutnya, tapi aku lebih dulu menutup mulutnya dengan telapak tanganku.

"Jangan ngebantah. Jangan sampai kamu yang harus dirawat karena kelelahan. Kasihan Asti," lanjutku.

Meski masih dengan raut keberatan di wajahnya, Arsya akhirnya mengangguk.

"Kamu enggak ada kerjaan?"

Aku menggeleng. Lagi, sebuah kebohongan dariku karena satu jam yang lalu aku baru saja bertengkar dengan Inge setelah membatalkan kehadiranku di salah satu opening restoran malam nanti. Restoran itu milik Rianti, kakaknya Alex, dan Inge ngotot aku harus tetap hadir karena sudah terlanjur reservasi.

Bukan acara penting, jadi tidak ada salahnya membatalkan di detik-detik terakhir. Walaupun harus adu argumen dengan Inge yang menganggap acara itu sangat penting.

Dia pasti sudah merencanakan sesuatu untuk mempertemukanku dengan Alex di acara itu.

I rather be here. Meski duduk lama di kursi ruang tunggu rumah sakit ini membuatku tidak nyaman.

"Kalau kamu harus balik ke Jakarta, aku enggak apa-apa."

Aku menatap Arsya dengan mata menyipit. "Jawab jujur, kamu lebih pengin aku balik ke Jakarta atau nemenin kamu di sini?"

Lama Arsya menatapku hingga akhirnya dia tersenyum. "Temani aku di sini."

Aku mengangguk, mengiyakan permintaannya.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now