Act.53 The Answers

38.3K 5.5K 282
                                    

Arsya mengerjapkan matanya sebelum terbuka sepenuhnya. Aku bisa merasakan tubuhnya menegang ketika mendapatiku ada di sofa ini bersamanya.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya pelan.

"Because I miss you."

Aku bisa melihat sudut bibirnya terangkat hendak membentuk senyuman, tapi Arsya malah berusaha menahannya.

"Gimana keadaanmu?"

"Not good. Seumur hidup, aku paling malas berurusan dengan hukum, tapi sekarang aku malah menghadapi dua kasus hukum sekaligus." Aku menghela napas panjang.

"Jadi, kamu memutuskan untuk memperkerakan Pandu?"

"Menurutmu, orangtuaku akan tinggal diam?" Aku balik bertanya.

Berurusan dengan masalah hukum bukan perkara mudah. Butuh waktu dan uang yang tidak sedikit. Namun, aku tidak akan bisa tenang sebelum Pandu mendapat ganjaran.

Pun dengan Inge. Malah, dia sepertinya tidak ada niat untuk berdamai meski semua bukti yang ada hanya memberatkannya. Entah apa yang dicarinya, karena jauh di dalam hatiku aku ingin mengakhiri semuanya dan memutus hubungan selamanya dengan Inge.

Arsya melepaskan pelukannya di tubuhku sebelum bangkit duduk. Semalaman dia memelukku, membuatku merasakan menemukan kembali bagian diriku yang hilang. Kini, saat dia melepaskanku, aku kembali merasa dibuang.

"Kamu mau ke mana?" tanyaku, ketika Arsya bangkit berdiri.

"I shouldn't be here."

Jawaban itu meluncur ringan dari bibirnya. Apa yang diucapkannya saat sadar seperti ini, jauh berbeda dengan yang tidak sengaja diucapkannya saat tidur. Arsya saat ngelindur bisa bicara jujur, sementara dalam keadaan sadar dia kembali menarik diri.

Aku meraih tangannya, menahannya untuk tidak pergi.

Arsya berhenti dan menatapku. Bukan hanya aku saja yang melewati malam menyebalkan dan sangat melelahkan, dia juga. Namun, dari ekspresi lelah itu, aku rasa dia selalu melewati malam-malam yang melelahkan.

"Sit down, please," ujarku.

Selama beberapa saat, Arsya hanya bergeming. Aku menarik tangannya, tapi tidak punya tenaga untuk menariknya agar kembali duduk di sofa ini.

"What's wrong?" tanyanya, saat akhirnya dia mengikuti ajakanku.

Aku memutar tubuh dan menghadapnya. "Pertanyaan itu lebih cocok untukmu. Ada apa sebenarnya?"

Arsya menggeleng pelan. "Kamu..."

"No." Aku mengangkat tangan di hadapannya, menahannya melanjutkan ucapannya. "Bukan aku. Aku mau tahu, ada apa sebenarnya denganmu."

Kalau saja ada satu cara yang bisa membuatku berhenti membuangnya bungkam, aku akan melakukannya. Namun, aku sudah kehabisan akal dan belum berhasil membuatnya membuka mulut.

"Kamu pernah bilang, hanya laki-laki bodoh yang memutuskanku dengan alasan tidak jelas. Namun, justru kamu meninggalkanku tanpa alasan apa-apa."

Lagi, Arsya menjawabku dengan keheningan. Membuatku berteriak saking putus asanya.

"Please tell me. Setelah itu, kalau kamu benar-benar enggak mencintaiku lagi, aku rela pergi dari hidupmu. Aku enggak akan mengganggumu lagi, tapi setidaknya beri aku penjelasan." Aku meracau liar sambil menahan tangis.

Setidaknya, Arsya kini sudah mau menatapku.

"You deserve someone better than me. Seseorang yang enggak akan menarikmu ikut jatuh."

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now