Act.32 One Phone Call

38.3K 5.3K 258
                                    

"Yakin mau langsung balik?"

Dengan kedua tanganku yang menggandeng lengannya, aku mengangguk antusias. "Kan, mau bimbingan sama Bapak," godaku.

Tawa Arsya tersembur. "Seharusnya aku enggak pernah menantang kamu."

"Oh come on, it's fun." Aku mengedipkan sebelah mata. "Besides, your punishment is not that hard."

Sekali lagi Arsya hanya bisa menahan tawanya. Dia melempar pandangan ke sembarang arah, untuk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.

Menggodanya memang menyenangkan, apalagi jika membuatnya sampai salah tingkah seperti ini. Namun, aku tidak bisa berbuat lebih jauh lagi mengingat saat ini kami masih berada di lingkungan kampus.

Perubahan sikapnya yang mendadak membuatku dipenuhi beragam pertanyaan. Sepanjang hari ini, dia terlihat santai. Seakan-akan dia sedang dikuasai oleh mood bagus. Aku jadi ragu, apakah tangisan dan pengakuan semalam itu benar-benar terjadi atau jangan-jangan itu hanya khayalanku saja?

Hanya berupa khayalan jauh lebih baik, ketimbang Arsya yang berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja di hadapanku. Sementara kenyataannya, dia jauh dari kata baik.

"Let's go home," bisikku.

Aku menjajari langkahnya yang tegap dan lebar. Bukan hal yang sulit bagiku untuk mengimbanginya. Ketika aku menunduk dan memerhatikan langkahku yang seirama dengannya, membuatku bahagia.

Dasar Rani lebay. Entah kenapa setiap hal kecil jadi terlihat memiliki arti yang jauh lebih besar, setiap kali menyangkut hubunganku dengan Arsya.

"Mas Arsya, beli kuenya dong."

Refleks aku mendongak saat mendengar nama Arsya dipanggil. Aku mendapati dua orang mahasiswa mencegat langkahku. Mereka memberikan selembar flyer kepada Arsya, sambil mencuri lihat ke arahku.

Aku mengintip isi flyer yang dipegang Arsya. "Kastangel," seruku seketika.

"Kastangel-nya enak, lho, Mbak," promosi salah seorang di antara mereka, yang berambut panjang dan dibiarkan digerai. Apa dia tidak kepanasan? Aku sudah menyerah sejak tadi dan menggulung rambutku membentuk bun di atas kepala, upaya yang nyatanya sia-sia dalam melawan Depok yang super gerah.

Si rambut panjang menunjuk ke arah selasar yang tidak jauh dari situ. Aku melihat banyak meja yang ditata seperti sebuah bazaar.

"Ada bazaar mahasiswa, Mbak." Teman si rambut panjang yang memakai jilbab menyahut. "Mungkin Mbak Calista mau mampir."

Arsya berdehem, sementara aku lebih tertarik kepada ajakan kedua mahasiswa itu.

"Ada tester?"

Mereka mengangguk antusias.

"Come on."

Aku melepaskan genggamanku di lengan Arsya dan mendahului menuju bazaar itu. Di belakangku, aku mendengar kedua mahasiswa itu cekikikan, sementara Arsya hanya bisa pasrah dan mengikutiku.

"Di mana?" tanyaku kepada kedua mahasiswa itu.

Mereka mendahuluiku dan memintaku mengikutinya. Di salah satu meja bazaar, ada toko yang khusus menjual kue kering. Si rambut panjang langsung menyodorkan tester kepadaku.

"Enak, kan, Mbak? Nastarnya juga enak. Dicoba dulu."

Aku tertawa pelan menanggapi promonya, tapi tidak urung mencomot nastar yang disodorkannya. Dia benar, sebagai penyuka kastangel, lidahku menerima rasa kue kering yang disodorkannya.

"Berapa?"

"Kalau beli tiga pas seratus ribu."

"Oke." Aku kembali mencomot kastangel itu. Bahkan, aku mengambil stoples berisi tester kastangel tersebut. "Kastangel dua, nastar satu."

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now