Act. 3 Campus Affair

52.9K 6.7K 195
                                    

"Mau ke mana, Pa? Pagi-pagi sudah rapi." Aku menuangkan orange juice sambil melirik Papa yang tengah menikmati sarapan sambil membaca koran.

Sejak pensiun, sangat jarang aku melihat Papa sudah dalam keadaan rapi sepagi ini.

"Ada seminar di Depok," sahut Papa dan menutup korannya. "Habis olahraga?"

Aku mengangguk. Napasku masih ngos-ngosan setelah melakukan workout routine yang sudah menjadi jadwalku setiap pagi. Well, I have to pay more to maintain my body.

"Pa, yakin Papa mau nyetir sendiri?"

Aku melirik Mama yang baru bergabung di meja makan. Mama terlihat panik, sesuatu yang sangat asing karena Mama biasanya selalu terkendali.

Papa mengangguk, tapi anggukan itu tidak berhasil menenangkan Mama.

"Pak Awi ke mana?" tanyaku.

"Mama mau nemenin Mbak Jia kontrol ke rumah sakit, jadi diantar Pak Awi," jawab Mama.

"Sopirnya Mas Rama?"

"Izin enggak masuk, anaknya sakit."

Aku mengangguk. "Aku aja yang nganterin Papa. Hari ini aku enggak ada jadwal, jadi bisa nemenin Papa."

Berbeda dengan Mama yang langsung bernapas lega ketika mendengarkan tawaran itu, Papa malah sebaliknya. Beliau menggeleng tegas, menunjukkan kalau dia sangat keberatan dengan ide yang aku ajukan.

"Jarang-jarang kamu bisa libur, jadi mending kamu istirahat aja," sanggah Papa.

Bagaimana bisa aku istirahat sementara tahu Papa menyetir sendiri? Papa pernah mengalami serangan jantung beberapa bulan lalu, dan sejak saat itu kondisinya menurun. Meski Papa berusaha mengingkarinya, tapi aku tidak bisa melupakan momen yang mengerikan itu. Sejak saat itu, aku berjanji tidak akan membiarkan Papa sendirian. Beruntung ada Pak Awi yang bisa diandalkan untuk mengantar jemput Papa. Baik Mama ataupun saudara-saudaraku, kami tidak pernah membiarkan Papa sendirian.

Tidak mengindahkan bantahan Papa, aku meneguk minumanku hingga habis dan langsung berdiri. "Aku siap-siap dulu. Jangan pergi tanpa aku, oke? Ma, jagain Papa."

Sebelum menerima jawaban, aku sudah setengah berlari menuju kamarku di lantai dua.

"Anak-anak, mentang-mentang sudah besar, malah memerintah orangtua." Sayup, aku mendengar gerutuan Papa, yang disambut tawa Mama dari arah meja makan.

**

Waktu kecil, aku pernah ikut Papa ke kampus. Sejak kecil pula, aku sangat ingin kuliah di UI karena ingin membuat Papa bangga. Sayangnya otakku tidak sepintar itu untuk bisa menembus universitas ini.

Sampai sekarang, aku tidak pernah berani bertanya kepada Papa. Apa beliau kecewa karena kegagalanku?

Ketika menginjakkan kaki di parkiran pagi ini, perasaan kecewa itu kembali merasukiku. Aku sudah berhenti menyalahkan banyak hal atas kegagalanku, dan menerima fakta kalau aku memang lemah dalam hal akademik.

Tidak seperti Mas Rama yang punya otak cemerlang. Dia hanya perlu belajar seadanya, sementara aku harus memiliki guru privat untuk bisa mengerti pelajaran sekolah. Itu pun tidak mudah, sehingga beberapa guru privat terpaksa menyerah mengajariku. Jika Mas Rama menurunkan otak pintar Papa, dan Raka mewarisi jiwa seni Mama, aku merasa seperti seorang outcast di keluargaku sendiri karena tidak mewarisi apa-apa.

"Kamu beneran mau nemenin Papa sampai selesai?"

Aku merangkul lengan Papa sambil mengangguk. "Aku kangen dengerin Papa ngajar," sahutku.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now